Iklan Layanan

Cuplikan

Senja yang Dicuri





Oleh: Vivi Kusuma Wardani


Hakim Yang Agung geleng-geleng kepala. Tak disangka dalam benaknya akan menghadapi persoalan seperti ini. Persoalan yang menurutnya rumit. Belum pernah ia temui sepanjang memutuskan perkara. Baginya ini persoalan yang konyol. Tetapi, siapa yang dapat menghentikan masalah konyol yang berlabel atas nama "hak asasi manusia"? Penuntut itu memiliki hak atas kasus yang menimpanya. Hak untuk melapor dan menuntut atas masalahnya, yakni pencurian senja.

Polisi yang memproses pelaporan dan jaksa sebagai penuntut hanya bisa melakukan tugasnya seperti biasa. Tidak bisa berdalih bahwa ini permasalahan orang yang menderita sakit jiwa. Atas nama hak asasi manusia, kasus pencurian senja itu diperkarakan dan naik ke meja hijau.

    "Sudah semusim senja hilang di pelataran rumah saya.”
   
    “Setiap sore, saya selalu menunggu senja yang mengeluarkan mega-mega dan semburat cahaya keemasan.”

    “ Tetapi yang saya nanti hanyalah kesia-siaan, Yang Mulia. Bukan senja yang muncul, namun hujan deras yang mengguyur.”

    “ Hati saya merasa sendu. Karena saya mencintai senja apa adanya. Tulus tanpa minus. Bahkan saya tak peduli jika sering disebut penggila senja.”

    “ Menurut pemahaman saya, negara ini bebas memperjuangkan hak, terlebih hak asasi manusia. Jadi saya berhak melapor atas kasus yang menimpa saya, senja yang dicuri dari pelataran rumah saya.”

Peserta sidang yang hadir disitu bermacam-macam tanggapan dan reaksinya. Ada yang berbisik kepada teman yang duduk disampingnya, "Lelaki yang malang, senjanya yang indah dicuri. Dan entah siapa yang tega melakukannya. Semoga pencurinya mendapat hukuman yang setimpal."

Sisanya ada yang bergumam, "Laki-laki sinting, mana ada senja dicuri lalu mengatasnamakan hak asasi? Omong kosong apalagi ini."

Karena kasus ini unik dan belum pernah ada,  maka sidang terbuka untuk umum. Seperti halnya diizinkannya awak media meliput. Awak media yang selalu semangat dalam pemberitaan pun tak mau kalah dengan peserta sidang. Mereka berlomba dalam bekerja menghasilkan berita. Ada yang memberitakan seperti "Laki-laki Sinting yang Sedang Mendrama di Pengadilan", "Laki-laki yang Kehilangan Senja", "Pencurian Senja", dsb. Pemberitaan media antara satu dengan yang lain beragam. Seperti quick count hasil pemilu, macam ragam hasilnya. Tetapi apapun itu tetap mengacu pada satu, laki-laki yang senjanya dicuri.

Hakim menghela napas, tampak juga seperti sedang merapal doa menurut keyakinannya. "Wahai jaksa, jika masalahnya seperti ini permasalahan tidak akan usai. Sementara kasus yang lain mengantre panjang layaknya antrian sembako, butuh segera penyelesaian juga. Lalu, adakah saksi yang mampu didatangkan untuk kasus laki-laki ini?", tanya Yang Mulia. "Jaksa menggeleng lemah, "Penuntut yang melapor kepada pihak berwajib tak menyertakan saksi. Menurutnya tak ada yang tau siapa dalang pencurian senja di pelataran rumahnya. Sedangkan senja memang hilang sepanjang musim ini, berganti dengan guyuran hujan deras."

    "Baiklah, sidang ditunda karena pihak penuntut pencurian tidak dapat menghadirkan saksi. Sidang ditunda besok dan akan diputuskan selagi laki-laki ini mampu menghadirkan seorang saksi.", tutur Yang Mulia dengan bijak. Palu pun diketuk, tanda sidang ditunda hingga esok.
   
    Fajar masih sama, menyingsing dari arah timur. Penuh gairah namun sayangnya masih kurang perenungan. Seperti hilangnya senja sebab dicuri. Laki-laki yang memperkarakan senja di pelataran rumahnya yang hilang tak gentar sedikitpun. Ia bersih kukuh tetap memperjuangkan apa yang menjadi haknya. Tak peduli meski kurang bukti yakni adanya saksi. Ia tetap nekat.
   
    Sidang resmi dibuka kembali. Dimulai pukul 09.00 waktu setempat. Laki-laki itu tampak santai. Tak terlihat resah meskipun tak bawa apa yang diminta hakim kemarin.
   
    "Baiklah, sidang resmi dibuka." Disusul ketukan palu hakim. Ketukan palu terdengar begitu nyaring menggema ke seluruh ruangan. Suaranya memantul di telinga orang-orang yang hadir di ruang pengadilan. Meresap menuju ulu hati. Membuat bergidik siapa saja yang hadir disitu. Pasalnya mereka tau apa yang membuat ketukan palu terasa menakutkan, laki-laki itu tak membawa saksi sesuai yang diminta hakim kemarin.
   
    "Wahai jaksa, bagaimana? Adakah saksi atas tuntutan laki-laki ini?"
   
    Jaksa masih melakukan perbuatan yang sama seperti kemarin. Ia menggeleng pelan tanpa suara. Tak bicara sepatah katapun, itu artinya hasil sudah bisa ditebak. Pengadilan akan bertindak atas perkara laki-laki ini serta memutuskan bahwasanya kasus ini tak bisa dilanjutkan.
   
    "Yang Mulia, sudikah kiranya Yang Mulia kehilangan sesuatu yang amat sangat dicintai?", laki-laki itu menyerobot pembicaraan saat hakim ingin berkata. Hakim yang agung menggeleng seraya berkata penuh hikmat, "Sama sepertimu, tak akan rela. Tetapi negara ini memiliki aturan main. Harus ada saksi bahwa senja milikmu telah dicuri. Siapa yang akan percaya bahwa senjamu dicuri jika tanpa saksi. Semua orang tau bahwa senjamu hilang, hilang bukan berarti dicuri. Bisa saja hilang karena ia bosan dan ingin pergi. Tak ada bukti yang mengerah pada pencurian senja milikmu meskipun senja benar-benar hilang.”
   
    Sesaat semuanya hening. Mencoba mencerna apa yang dikatakan hakim barusan. Laki-lai itu terdiam pasrah dan begitu lesu. Hakim tak tega sebetulnya berbicara seperti itu, tetapi mengingat kekonyolan kasus ini ia bicara mengalir begitu saja.
   
    "Baiklah, hadirin, sidang tidak bisa di.....". Tiba-tiba, bunyi ketukan pintu dari arah luar, pintu benar-benar diketuk. Semuanya mendadak hening. Penjaga pintu pengadilan membuka pintu itu. Tampak sesosok perempuan bertubuh langsing dan tinggi semampai. Mengenakan atasan lengan pendek warna merah muda dan rok di bawah lutut warna abu-abu, perpaduan warnanya serasi. Ada tas di tangannya. Rambutnya hitam sebahu serta dibiarkan terurai. Wajahnya? Cantik dan sendu. Ia berjalan menuju Yang Mulia.
   
    "Yang Mulia, sebelum sidang ini dijatuhkan putusan, izinkan saya menjadi saksi atas kasus yang menimpa laki-laki ini. Atas senja yang hilang karena dicuri seperti yang diberitakan oleh media akhir-akhir ini", jawab perempuan itu dengan tegas. Kemudian pandangannya dialihkan kepada laki-laki itu. Ia berusaha tersenyum tipis. Kemudian laki-laki itu menunduk tak berani menatap senyumnya.
   
    Hakim menyetujui permintaan perempuan yang dianggapnya ikutan aneh itu. Perempuan yang mau-maunya melibatkan diri terhadap kasus aneh yang menimpa laki-laki itu. Karena sesuai putusan awal, putusan akan ditetapkan bila ada saksi dari pihak pelapor sekaligus penuntut.
   
    "Baiklah, sidang resmi dilanjutkan kembali". Suara ketukan palu terdengar bertalu di meja hijau. Degup jantung hadirin yang hadir mulai memainkan perannya. Jaksa membacakan tuntutan laki-laki itu. Seluruh ruangan terdiam mendengarnya.
   
    Tibalah pada saksi yang datang secara sukarela itu berbicara. Suasana ruang pengadilan begitu menakutkan. Wanita itu tersenyum kepada yang Mulia lalu mengedarkan pandang ke arah laki-laki yang masih tertunduk itu.
   
    "Sore itu aku datang ke rumah laki-laki itu, berniat pamit selama semusim untuk pergi kursus pendek di luar negeri. Memenuhi mimpiku yang selama ini aku impikan. Lalu, saat aku ingin pamit aku melihat senja di pelataran rumahnya. Kutanyai Ia, adakah kantong plastik? Aku ingin pinjam itu. Ia pun tiba-tiba lari ke dalam rumahnya begitu saja. Aku tak tau dia mengambil apa. Saat Ia di dalam, aku meraih senja di pelataran rumahnya. Kugenggam erat agar keindahannya tak memudar. Lalu ia tiba membawa kantong plastik itu dan menyerahkannya padaku. Aku menyeringai bahagia, aku pinjam ya selama semusim untuk... Belum selesai bicara, Ia memotong perkataanku sembari berkata, bawalah jika kau mau. Aku tak butuh, milikku berarti sama, milikmu juga. Kupikir ia paham apa maksudku. Dengan apa yang dikatakannya, akupun meyakini ia paham. Jadilah kubawa senja itu dengan kantong plastik yang entah dipinjamkan atau diberikan padaku."
   
    Hakim akhirnya menemukan titik terang atas kasus ini. Disini ternyata bukanlah senja yang hilang karena dicuri melainkan senja yang dipinjam oleh perempuan yang belakangan diketahui adalah kekasih laki-laki itu. Serta terjadi kesalahpahaman yang tak terselesaikan selama semusim. Keduanya tak saling tau.
   
    "Jika pada akhirnya saya ditetapkan sebagai pencuri, maka saya akan menebusnya dengan mendekam dipenjara sesuai tuduhan yang dilontarkan. Dan itu murni kesalahan saya yang tak bisa memahami apa yang dia maksud. Yang belakangan saya baru menyadari bahwa yang dimaksud adalah kantong plastik yang diberikan, bukan senja. Meskipun saya telah berulang bilang dengan kata 'pinjam'. Dan saya datang kemari juga untuk mengembalikan senja yang saya pinjam.”
   
    "Tunggu, kau meminjam senja di pelataran rumahnya untuk apa?", tanya hakim.
   
    “Untuk menemani saya selama jauh darinya.”
    Ruangan mendadak bisu seiring penjelasan perempuan itu. Air mata tampak jatuh berhamburan oleh peserta sidang. Mereka terharu.
   
    "Saya cabut tuntutan.", suara laki-laki itu mantab.
   
    Ketuk palu hakim terdengar nyaring diketuk. “Hadirin, sidang diputuskan bahwa tuntutan dicabut dan perempuan ini tidak bersalah.", suara hakim tegas.
   
Sidangpun berakhir dengan keputusan final.
   

No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.