Iklan Layanan

Cuplikan

Bencana Itu Bernama Pragmatisme

 

(Ilustrasi: BeritaUtama.com)

Opini oleh: Munir

Hari-hari menjelang pemilihan umum menjadi satu momen bagi berbagai media untuk membanjiri beranda kita. Adanya hal tersebut, secara tidak langsung menuntut daya pikir kita untuk bekerja lebih cepat dibanding hari-hari biasanya. Sebab, menjelang pemilihan umum, siapa pun akan berpikir untuk menentukan pemimpin negara. Terlebih, Indonesia merupakan negara demokrasi. Kedemokrasian Indonesia akan diuji di sana. Itu sekilas terkait pemilihan umum. Saya tak punya kecakapan yang lebih untuk menuliskannya. Saya hanya berusaha meraba, bagaimana peran mahasiswa untuk membentuk negara yang demokrasi ini. 

Selayaknya miniatur negara, perguruan tinggi juga menerapkan sistem demokrasi. Seperti yang akan dilakukan di UIN Njenangan. Sentar lagi, di kampus UIN Njenangan juga akan melaksanakan pemilihan umum raya (PEMIRA). Di mana mahasiswa akan menggunakan haknya untuk memilih calon ketua Organisasi Mahasiswa (ORMAWA), baik di tingkat jurusan, fakultas, sampai institut. Saya tak tahu betul siapa calon-calonnya kelak. Semoga mereka yang terpilih adalah golongan yang benar-benar mampu dalam belajar, bekerja, dan berkomunikasi. Tiga hal tersebut menurut saya sudah cukup.

Dewasa ini, ORMAWA di UIN Njenangan sedang tidak membutuhkan seorang pemimpin yang mempunyai pengetahuan yang lebih terkait apa pun. Tidak sama sekali. Apalagi pemimpin yang berpidatonya melebihi Sukarno dan pengetahuannya melebihi Tan Malaka. Tidak sama sekali, Bung! Ada berapa banyak kasus yang pimpinannya berpengetahuan tapi tidak punya anggota? Banyak sekali, Bung! Namun, di lain sisi, saya pribadi menyayangkan hal tersebut.

Kondisi Mahasiswa UIN Njenangan

Saya tak mau memandang semua mahasiswa dengan sama rata. Setiap mahasiswa berhak menentukan sikap ketika berada di kampus. Banyak teman-teman saya yang memilih sekadar pulang-pergi atau biasa disebut mahasiswa kupu-kupu. Mereka hanya akan fokus terhadap dunia perkuliahan, seperti tugas dan kehadiran di kelas. Selebihnya tidak. Namun, sekali lagi, saya tidak mau me-judge bahwa yang mereka lakukan adalah perbuatan yang kurang pas sebagai mahasiswa. Saya pun juga perlu bertanya kepada mereka yang bersikap demikian.

Ada beberapa alasan yang saya temukan. Salah satunya adalah faktor ekonomi. Sungguh, saya salut kepada mereka yang kuliah sembari bekerja. Apalagi, jika mereka tidak kalah dalam perkuliahannya, hormat! Selain itu, ada juga yang kuliah karena tuntutan orang tua. Kebetulan, mereka juga masuk di jurusan yang salah pula. Bahaya, Bung! Alasan-alasan tersebutlah yang membuat saya tidak berani untuk me-judge.

Ketika membicarakan mahasiswa, tidak afdal rasanya jika tidak membicarakan Organisasi Mahasiswa (ORMAWA) yang ada di dalamnya. Jika ditanya, bagaimana pandangan mahasiswa biasa terhadap ORMAWA? Tentu, ada beragam jawaban yang bila itu diketahui oleh anggota ORMAWA, mereka akan marah. Banyak mahasiswa yang tidak tahu apa itu ORMAWA, sebab mereka hanya pergi-pulang saja.

Ada juga yang mempunyai pandangan terhadap ORMAWA dengan kebencian. Mereka menganggap ORMAWA hanya memanfaatkan mahasiswa biasa untuk mencairkan uang dari kampus melalui kegiatan-kegiatan yang dilakukan, yang kemungkinan besar bisa dinikmati untuk pribadi atau kelompok. Padahal kenyataanya, di ORMAWA banyak ruginya, Bung! Ndak enek duite blas! Saya pernah satu periode di ORMAWA dan merasakan itu.

Ada beberapa penyebab yang membuat pandangan negatif mahasiswa terhadap ORMAWA itu muncul. Salah satunya adalah ketidakcakapan ORMAWA untuk merangkul atau memberi ruang terhadap mahasiswa biasa. Banyak mahasiswa yang merasa tidak manfaat adanya ORMAWA, terutama di tingkat jurusan. Banyak ORMAWA yang tidak paham kondisi dan kebutuhan mahasiswa. Ada beberapa program kerja yang terlalu muluk-muluk dan sebenarnya tidak dibutuhkan mahasiswa.

Sekadar contoh saja, di UIN Njenangan kebiasaan diskusi belum tercipta, kecuali bagi mereka yang aktif di komunitas atau organisasi tertentu. Semisal ORMAWA sadar akan hal tersebut dan membuat program diskusi seminggu sekali atau sebulan sekali dengan tema yang ada hubungannya dengan jurusan, tentu ORMAWA akan dipandang lebih baik oleh mahasiswa. Sebab menurut saya, tujuan diadakannya ORMAWA adalah untuk memfasilitasi mahasiswa untuk lebih berkembang, terutama dalam jurusannya sendiri. Jika ORMAWA tidak paham dan sadar dengan tujuan diadakannya ORMAWA, maka sudah pasti arah geraknya tidak sesuai. Apalagi kalau ada juragan yang menyetir, kacau, Bung! Sekali lagi, jangan pernah marah apabila mahasiswa mempunyai pandangan negatif terhadap ORMAWA. Wong itu juga salahmu sendiri.

Kriteria Ketua ORMAWA

Agaknya saya perlu menyitir sedikit ungkapan dari Pramoedya Ananta Toer, “Seorang pelajar harus berlaku adil sejak dalam pikiran.” Kenapa demikian? Karena mempunyai pikiran yang adil adalah langkah awal untuk menuju ke tahap berikutnya. Mahasiswa akan menikmati setiap proses yang dilewatinya, tanpa mempunyai pemikiran terhadap sesuatu yang praktis. Mahasiswa akan selalu belajar terhadap sesuatu yang belum dikuasainya sehingga tidak akan malu jika memang harus berkata, “Belum bisa.

Mahasiswa telah mempunyai label kaum terpelajar ketika sudah memasuki wilayah pendidikan formal. Tidak memandang kelas sosial dan ekonomi. Apa yang seharusnya dilakukan oleh kaum terpelajar? Ya, belajar, Bung! Bukan berpolitik. Berpolitik praktis apalagi, ndak mashok blas! Apakah mahasiswa dilarang berpolitik? Tidak. Tapi, apa tugas mahasiswa yang paling utama? Ya, belajar. Berpolitik adalah hal yang kesekian ketika mahasiswa akan terjun di masyarakat dan di sana politik diperlukan. Apalagi kalau sudah urusan negara, tentu itu diperlukan.

Jika saya boleh menganalogikan, dunia kampus merupakan kawah candradimuka, tempat semua mahasiswa untuk menempa diri. Gatot Kaca jika tidak masuk kawah candradimuka tentu tidak sakti seperti yang telah kita ketahui dalam epos pewayangan. Kalau kata Tan Malaka, “Terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk!” Apabila mahasiswa sudah enggan belajar dalam artian berproses, tapi memiliki keinginan yang muluk-muluk, seperti ingin mempunyai posisi di ORMAWA, tentu ini merupakan bencana yang mempunyai dampak besar.

Kiranya, mahasiswa yang mempunyai orientasi ke ORMAWA hendaknya harus mempunyai wacana. Mereka harus mampu menganalisis kondisi kampus, terutama di kalangan mahasiswa dan apa yang sebenarnya dibutuhkan. Wacana merupakan hal yang harus lebih dulu ada bagi anggota ORMAWA, terlebih ketuanya, sebelum membuat program kerja. Michael Foucault berpendapat bahwa wacana akan memberi efek kebenaran, kebenaran akan memberi efek pengetahuan, pengetahuan akan memberi efek kekuasaan, dan kekuasaan akan memberi efek pengetahuan lagi.

Bisa diartikan, sebelum mahasiswa memasuki dunia ORMAWA atau memiliki kekuasaan, maka seyogyanya memiliki pengetahuan yang cukup. Misal tidak bisa, ya, sambil jalanlah. Hal ini diperlukan agar ORMAWA tersebut mempunyai arah yang jelas dan manfaat bagi mahasiswa lain. Selain itu, anggota ORMAWA, terlebih ketua, harus bisa membedakan mana urusan intra dan mana urusan ekstra. Tentu, mereka juga harus meninggalkan kepentingan-kepentingan kelompok, apalagi pribadi!

Saya pribadi mempunyai pandangan, apabila ORMAWA mempunyai pengetahuan yang cukup dan selalu mendahulukan kepentingan orang banyak, maka kemungkinan besar, ORMAWA akan dipandang positif oleh mahasiswa luas. Sebaliknya, bila mahasiwa tidak berpengetahuan, tapi mempunyai keinginan masuk ORMAWA, apalagi di tingkat ketua, maka sudah bisa dipastikan ORMAWA tersebut tidak akan sesuai tujuan awal dibentuknya. Dan misal dari prosesnya saja sudah lewat perlobian antar kelompok, ya sudah, mahasiswa biasa jangan punya harapan lebih terhadap ORMAWA ini. Mereka yang tidak mempunyai pengetahuan yang cukup dan enggan berproses, tapi mempunyai keinginan menjadi ketua ORMAWA atau kekuasaan, maka menurut saya, mereka sudah korup sejak dalam pikiran. Sehingga untuk label kaum terdidik, kiranya perlu dipertanyaan ulang.

Akhirnya, jangan pernah menganggap tulisan ini serius, apalagi dibaca sambil marah-marah, biasa saja. Tulisan ini tak lebih dari sekadar cangkeman saja. Selamat berproses! Selamat berkonsolidasi, Bung!

 

No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.