Iklan Layanan

Cuplikan

KPUM: Kelompok Peramal Untuk Mahasiswa(?)

 


(Gambar: www.karangtalun.bantulkab.go.id) 

Opini oleh: Miftah

    Pagi itu (07/03/2023) suasana kampus kita tercinta agak berbeda. Suasana berbeda itu tampak hampir di seluruh sudut kampus, baik kampus 1 maupun kampus 2. Banyak kerumunan mahasiswa di sana. Katanya sih ada PEMIRA atau kongres, atau entah apalah itu namanya. Penulis juga tak begitu paham apa maksud dari namanya.

    Menurut kabar yang penulis terima, kegiatan itu diselenggarakan guna memilih ketua dan wakil ketua organisasi mahasiswa (ORMAWA), baik di tingkat jurusan, fakultas, maupun institut (yang sebentar lagi mau jadi universitas, katanya). Katanya, pemilihan ini diselenggarakan layaknya pemilu pada umumnya. Di mana pemilih yang sudah resmi terdaftar datang langsung ke tempat yang telah ditentukan, lalu coblos sesuai pilihan masing-masing. Ya, meskipun katanya ada yang milih tapi gak tau calonnya, wkwkwk.

    Pelaksanaan pemilihan kali ini tidak luput dari kejadian “aneh.” Misalnya, pemilihan di Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah (FUAD). Saat prosesi pemilihan, khususnya saat mahasiswa Bimbingan dan Penyuluhan Islam (BPI) sampai di tempat pemilihan, ternyata surat suaranya habis. What? Kok bisa terjadi.

    “Jadi begini mas, tadi saat kita sampai di TPS (Tempat Pemungutan Suara), surat suaranya habis dan itu kami ada dua kelas. Ya, kalau saya sendiri tidak terlalu terganggu, tapi kasihan temen-temen yang lain juga pada nunggu. Ada sekitar 15 menit kita nunggu,” ujar salah satu pemilih.

    Kalau dipikir-pikir, bagaimana bisa surat suara kok habis. Bukannya sebelum pemilihan itu pihak penyelenggara sudah ada data pemilih aktif? Daftar pemilih aktif ini tentunya dapat dilihat jumlahnya melalui bagian akademik secara langsung. Kan pemilihan ini untuk mahasiswa, ya, pasti pemilih aktifnya juga mahasiswa aktif dong?

    Penulis jadi mempertanyakan bagaimana cara pihak penyelenggara melakukan pendataan pemilih? Jika hal tersebut terjadi, apakah pihak penyelenggara tidak melakukan koordinasi dengan bagian akademik. Ah, agaknya itu terlalu jauh dari nalar penulis.

    Ada juga seorang panitia yang membuat alibi lucu dan agak menggelitik. “Dikira antusias mahasiswa dalam memilih masih kurang. Jadi, kita cuma menyiapkan 1.000-an lembar surat suara. Eh, ternyata lebih,” ujar salah seorang kamitiya, eh panitia.

    Jika memang benar itu yang terjadi, agaknya Komisi Pemilihan Umum Mahasiswa (KPUM) sudah sangat profesional sekali untuk menjadi “peramal.” Nampaknya, kepanjangan KPUM pun perlu direvisi menjadi Kelompok Peramal Untuk Mahasiswa. Seharusnya panitia sudah mengetahui jumlah pemilih tetap dengan mengacu data yang diambil dari bagian akademik. Kalau alasannya animo mahasiswa dalam memilih masih kurang, tapi kok surat suaranya masih bisa kurang juga? Jika memang banyak diantara mahasiswa tidak menggunakan hak suaranya seharusnya surat suaranya akan tersisa, bukan malah kurang.

    Ditambah lagi kalau surat suaranya habis, mereka harus menunggu surat suara baru dicetak. Alamak, sudah kehabisan surat suara, nunggu lagi. Selain menunggu surat suara baru dicetak, mereka juga harus menunggu surat suara itu dilipat sebagaimana mestinya. Baru, setelah itu mereka bisa mencoblos sesuai dengan pilihan hati mereka. Untung mahasiswa-mahasiswa ini orang yang sabar.

    Kejadian yang hampir sama juga terjadi di tetangga depan fakultas, yaitu Fakultas Syariah. Namun, yang membedakan adalah kesiapan panitia. Ketika prosesi pemilihan berlangsung, panitia hampir saja kehabisan surat suara. Waktu itu, surat suara tersisa hampir sekitar 100-an buah. Panitia langsung mengambil surat suara baru yang sudah tercetak dan terlipat dengan rapi. Ya, kalau ini sih panitianya sudah tanggap dan ada persiapan sebelumnya, nggak kaya yang sono.

    Jika melihat struktural panitia yang ada, mulai dari KPUM Institut, KPUM Fakultas, dan juga Panitia Pemungutan Suara (PPS), kayanya pemilihan ini kurang maksimal karena tidak adanya Pantarlih (Panitia Pemutakhiran Pemilih). Mungkin ini ya penyebab panitia tidak punya data real tentang jumlah pemilih tetap. Sebab, menilik dari pemilu, ya memang itu bagian dari tugas Pantarlih itu sendiri. Kalau memang di kampus dibuka lowongan, bisa lah penulis mendaftar. Hehe.

    Agaknya, pemira atau kongres, atau apalah itu sebutannya masih banyak kekurangan di sana-sini. Ya maklumlah, namanya juga masih belajar. Hal lain yang menjadi sebab kemakluman adalah mereka sama-sama angkatan congorna, eh korona. Jadi, ya harap dimaklumi jika masih banyak kekurangan. 

1 comment:

  1. Sejak dulu memang KPUM tidak pernah profesional. Sejak jaman saya kuliahpun demikian. Katanya miniatur negara. Seharusnya kongres itu juga menentukan kuorum berapa persen partisipasi pemilih sehingga pemilihan dikatakan sah. Tapi sejak jaman saya kuliah sampai sekarang tetap aja. Jadinya ya gini. Mau berapapun yg memilih kalo menang ya jadi. Padahal dalam demokrasi itu kan partisipasi rakyat yg menentukan. Dan di kampus yg berpartisipasi ya mahasiswanya. Seharusnya jika sebagian besar mahasiswa tidak berpartisipasi apakah bisa dikatakan sah hasil pemilihannya ?

    ReplyDelete

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.