Iklan Layanan

Cuplikan

Budaya yang Tak Ada Bedanya

(Gambar: news.detik.com)

Cerpen oleh: Vivia

Tahun ini, setelah secara resmi lolos seleksi, aku akhirnya akan berkuliah dan menjadi mahasiswa. Sungguh kebahagiaan yang tak bisa dibayar dengan apapun. Hari ke hari aku semakin tak sabar untuk mulai berkuliah. Hanya saja, sebelum masuk kuliah ini, ada masa orientasi untuk mahasiswa yang harus dilewati. Hanya itu satu-satunya hal yang harus banyak kusabari.

Aku mematut diri di depan cermin. Menatap pantulan diriku yang memakai baju putih dan bawahan hitam, seragam yang harus kupakai selama masa pengenalan. Seutas pita merah-putih kini melingkari kepalaku yang dibalut jilbab putih. Jilbab yang tidak lagi putih sebersih biasanya karena kupakai sejak kemarin pagi. Kemarin sore aku tidak mencucinya karena tidak yakin kain itu akan kering segera.

Setelah merasa apa yang harus kukenakan lengkap, aku segera berangkat ke kampus. Sunyi. Itulah suara yang kudengar selama perjalanan. Pagi bahkan belum terbit saat motorku melaju menyusuri jalanan sepi. Hanya ada beberapa truk pengangkut sembako dan sayur yang berarak-arak ke arah kota seberang.

Ada pula para mahasiswa sepertiku yang berburu-buru menuju tujuan. Dari semua kendaraan yang memburu waktu itu, hanya aku yang memilih melambat. Jalanan berlubang sekitar area pom bensin dan suasana gelapnya membuatku takut mempercepat laju.

Aku beruntung, tiba tujuh menit sebelum jam lima pagi membebaskanku dari kata terlambat dan hukuman. Seorang teman sekelompok menghampiriku lalu menarikku bergegas berlari bersama. Aku merasa waktu tujuh menit tidak akan berlalu secepatnya tapi kami tetap harus berlari karena seorang kakak panitia sudah menunggu sambil menatap ke arahku. Apa salahku?

Temanku, Manda, berbaris di depanku dan aku yang pendek ini berdiri di belakangnya. Kakak panitia masih memusatkan tatapannya padaku seolah ada sesuatu yang salah dariku. Sesekali aku meliriknya dan ketika tatapan kami benar-benar bertemu, kakak panitia itu mendatangiku dengan segera. Aku menunduk, entah apa kesalahan yang kubuat.

“Intan?” ucap kakak panitia itu setelah melihat tulisan yang tertulis di papan namaku.

Aku mengangkat kepala, mengarahkan pandanganku pada kakak panitia itu.

“Pin kamu, mana?” tanya panitia itu.

Dengan ragu aku menunduk, melihat ke arah bahu kananku yang harusnya tersemat pin di sana. Ah, inilah kesalahanku. Aku lupa menyematkan pin bulat yang dibagikan panitia kemarin.

“Ketinggalan, Kak,” jawabku sambil kulirik nama yang tercantum di id card-nya, ternyata nama kakak panitia ini adalah Lina.

“Maju ke depan sana!’ perintah Kak Lina.

Dengan segera aku melangkah maju dan berdiri di samping jajaran mahasiswa lainnya yang juga lupa memakai beberapa atributnya.

“Kalian tahu salah kalian apa?” teriak Kak Lina.

Aku tetap menunduk. Rasanya benar-benar mencekam. Banyak kakak panitia lainnya yang berkumpul mengelilingi barisan ini. Semuanya menatap tajam.

“Tahu, tidak?” teriak panitia lainnya.

“Gak bawa atribut?” tanya Kak Lina.

“Bawa, tidak?”

“Jawab!”

“Jawab!”

“Jawab!”

Teriak panitia lainnya. Semakin diteriaki, semakin peserta diam tak bersuara. Tak ada yang berani membuka suara, bahkan sekedar untuk menjawab pertanyaan para panitia apalagi melawan dengan  teriakan balasan.

“Besok lagi, kalau disuruh pakai atribut itu ya dipakai!” teriak Kak Lina.

Aku tersentak. Kemarin semua panitia selalu ramah pada peserta tapi hari ini semua panitia berubah menjengkelkan dan galak.

“Berdiri di sini sampai dibubarkan,” akhir Kak Lina lalu meninggalkan barisan kami. Beberapa panitia berbondong mendatangi barisan kami. Dua puluh menit aku dan barisan peserta ini dijajarkan. Kami dibiarkan berdiri menghadap barisan peserta lainnya lalu diteriaki sebagaimana kriminal yang curang.

Teriakan-teriakan dari panitia terus bersahutan hingga hampir setengah enam. Saat itulah barisan ini dibubarkan.

“Dah. Bubar sana!”

Setelah menit ke tiga puluh berlalu, barisan mahasiswa terhukum ini dibubarkan. Aku kembali ke barisan awalku, menghampiri Manda yang siap menyambutku. Dia menepuk bahuku, “Sabar ya.”

Aku mengangguk.

“Iya,” jawabku.

Iya. Aku harus bersabar. Ini masih hari kedua, masih ada dua hari kedepannya yang kurasa akan lebih berat lagi tantangannya.

Kami digiring mengikuti acara selanjutnya. Dengan kepala yang selalu tertunduk dan mata yang sesekali melirik ke arah Kak Lina yang menatapku tajam selalu, aku mendengarkan materi pengenalan fakultas dan jurusan.

“Kamu tadi dihukum?”  tanya temanku yang lainnya, Lila.

Aku hanya mengangguk.

“Kenapa?”

“Atributku gak lengkap. Aku gak bawa pin,” jawabku.

“Oh, gitu. Itu sih salahmu juga gak pakai pin. Sudah tahu panitianya galak begitu,” ucap Lila padaku.

Aku hanya mengangguk pasrah.

Acara ini hanya akan berlanjut sampai dua hari ke depan. Harus bertahan walaupun penuh kesabaran.

Kukira setelah menjadi mahasiswa, segala hal yang pernah terjadi seperti orientasi sekolah dulu tidak akan pernah terjadi setelah menjadi mahasiswa. Tapi ternyata hal itu masih terjadi juga.

“Pas MOS dulu juga begini ya?” tanya Manda.

“Iya. Kita dulu juga disuruh berangkat pagi, pakai pita, dandan gak jelas juga malahan,” sahut Lila.

“Dulu pas MOS, panitianya juga galak-galak gitu,” sahutku.

“Terus bedanya kita sama siswa SMA apa ya?” ucap Manda.

Kami bertiga sama-sama menggeleng. 

No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.