Iklan Layanan

Cuplikan

Debat Katanya

(Sumber Gambar: zonapriangan.pikiran-rakyat.com)

Cerpen Oleh: Siti 

Dalam kurun waktu 30 detik musik yang mengalun silih berganti. Alih-alih lagu yang menenangkan pikiran setelah seharian bertempur dengan tugas kuliah, malah lagu yang didominasi DJ remix yang diputar. Entah dia sengaja atau memang berniat membunuhku. Kalau dilihat dari posisi rebahannya, teman sekamarku ini sudah berselancar di aplikasi itu selama berjam-jam. Jilbab acak-acakan, kaki di atas bantal, juga buku yang sudah pasrah di atas perutnya karena diabaikan. 

“Septi, udah tau calon-calon pemimpin organisasi intra `kan?” tanyaku setelah hampir setengah jam diabaikan. Saat membuka aplikasi berbalas pesan, ada beberapa temanku yang membagikan pamflet kampanye dari beberapa calon pemimpin organisasi intra di kampusku. 

“Calon apa?, bukannya kakak kamu udah menikah semua?” Memang temanku yang satu ini sudah kecanduan media sosial, selalu update berita terbaru nasional bahkan internasional, tapi kalau urusan kampus, berita sudah basi bulan lalu dia baru mau nanya sekarang, alias kudet. 

“Iiih, matikan dulu itu HP-nya!” protesku kesal. Kemudian dia buru-buru duduk dengan setengah terkejut. 

“Calonnya kamu?” tanyanya dengan wajah polos, namun sangat bodoh di mataku. 

“Makanya udah main Toktoknya. Calon pemimpin organisasi intra, udah denger `kan telinganya? Apa perlu pake toa yang lagi viral?” tanyaku mencibir, walau dalam hati mengcap istigfar.  

“Iya, udah denger. Terus kenapa?” Ya Allah, batinku nelangsa. Punya teman satu, pinternya cuma kalau lagi pegang HP. 

“Itu, bakal ada kongres. Pemilihan buat nyari pemimpin baru organisasi intra, kaya pemilu gitu. Terus aku nanya, apa ya tadi ... itu, kamu udah tahu siapa calon-calonnya?” sudah aku jelaskan panjang lebar, kalau masih belum paham perlu dibawa ke dokter ini anak. 

“Ooh, iya.” Aku menghela nafas lega.

“Udah tau?”

“Belum. Eh, tapi aku tau kabar itu kok, sabar-sabar,” Iya. Memang harus sabar kalau sama manusia semacam ini. 

“Gimana cara mencari tahu siapa-siapa yang jadi calonnya?”

“Nah itu, fakultas kita besok bakal ngadain debat antar calon, debatnya terbatas sih, tapi kita bisa nonton lewat live Instagram. Dari debat itu kita nanti bisa kenal sama calon yang akan kita pilih, dan bagaimana pola pikirnya dalam memimpin kita nanti.” Memang, meskipun hanya menjadi mahasiswa yang memiliki hak suara, aku sangat tertarik dengan yang namanya pesta demokrasi. Hal ini yang kuharapkan juga ada di setiap jiwa mahasiswa di kampus kami. 

“Bagus itu, nonton bareng aja kita, lumayan hemat kuota,” ajaknya semangat. Ku kira bakal minta penjelasan ulang lagi. Mendengar tawarannya, aku langsung mengacungkan dua jempol, tanda setuju.

“Tandain, jam 8 pagi,” suruhku.

“Siap, May!!”

**

Keesokan paginya yang memang merupakan hari libur, kami sudah siap mengenal calon-calon pemimpin kami, baterai HP masih penuh, dan juga camilan agar tidak bosan. 

“Katamu jam 8, mana? Ini udah 8.32,” protesnya kepadaku. Sebenarnya aku juga ingin protes, tapi pada siapa aku tidak tahu.

“Sabar, mungkin jadwalnya diundur.” Ucapku, karena sudah tidak tahu mau menjawab apa lagi, sudah sewajarnya kami lelah dengan budaya jam karet di Indonesia.

“Aku juga tahu kalau jadwalnya mundur, bukan maju,” jawabnya makin kesal. 

Scroll beranda dulu aja. Nanti juga muncul notifikasi kalau udah mulai,” ucapnya. Aku hanya menganggukan kepala dan melanjutkan bacaanku yang terpotong oleh keluhan Septi. 

Menit terus berganti, aku tidak sadar sudah berapa lembar kertas yang ku balik. Bahkan, buku lumayan tebal ini sudah hampir separuh ku baca. 

“May! Udah mulai acaranya.” Aku segera beranjak dan merapat pada temanku, Septi. Acara yang terlambat hingga satu setengah jam itu dibuka dengan lantunan ayat suci, belum ada 10 menit kami menonton muncul notifikasi yang cukup mengganggu. Sebenarnya sungguh mengganggu. 

“Yah, kok udah abis aja. Belum ada seminggu aku isi data padahal,” ya benar, kuota internet Septi habis sudah. 

“Kamu sih, main sosmed terus. Udah pake HP aku aja,” kataku dengan sewot.

Di tengah-tengah acara yang sedang berlangsung Septi terlihat kebingungan. 

“Kenapa?” Tanya ku, heran.

“Ini katanya debat, kok ga ada sanggah-sanggahan?” tanyanya keheranan, sebenarnya aku sudah menyadari kejanggalan ini sejak calon pertama mengutarakan visi misinya. Aku mendekatkan wajahku ke layar, membaca spanduk yang menjadi latar, di sana tertulis dengan jelas tulisan debat. 

“Bener kok, judulnya debat. Yaudah sih, tinggal nonton aja,” ucapku pasrah.

“Ga seru jadinya.”

Acara yang katanya debat ini berlangsung sampai siang hari. Setelah semua calon yang seluruhnya adalah calon tunggal alias tidak ada lawannya menyampaikan apa yang menjadi visi dan misi, acara ini ditutup. Wajah Septi masih mengutarakan ketidakpuasannya.

“Gimana? Udah kenal semua calonnya `kan?” tanyaku sambil memasangkan charger HP yang hampir kehabisan baterai. “Udah tahu siapa yang bakal kamu pilih?”

Dia menatapku kesal, aku bersiap-siap mendapat semprotan protesnya. “Gimana ga tahu mau milih siapa, siapa yang bakal terpilih aja udah ketahuan. Cuman ada satu calonnya!” 

Aku hanya memasang wajah tanpa dosa sambil nyengir, kalau tidak begini mungkin dia tidak akan tertarik dengan acara yang katanya debat itu. Meskipun dia tetap kecewa karena tidak ada debat sesungguhnya yang ia tunggu-tunggu.


No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.