Iklan Layanan

Cuplikan

Tanpa Suara

Cerpen Oleh: Diah A. Cantrisah

  “Sialan!”

Umpatan kembali keluar dari mulut kecil Tara. Gadis remaja yang baru saja masuk SMA itu, kembali dibuat kesal hari ini. Wajah kusutnya semakin menjadi-jadi saat kini ia terjebak hujan di halte depan sekolah barunya. Yah, Tara memang tidak suka hujan.

“Dosa apa, sih, gue di masa lalu sampai sial mulu dari tadi? Padahal, kan gue ga bejat-bejat amat selama hidup di bumi.” Tara kembali menggerutu kesal. Ia menghentakkan kakinya berkali-kali agar rasa dongkolnya ranap. Tapi, yang ada hatinya malah semakin muak.

“Hujannya bagus, ya, Bi?” Dengan secepat kilat hujan, Tara memalingkan wajahnya ke asal suara. Ia mendelik dan memandang sinis sekaligus jijik pada sesosok remaja laki-laki yang sedang bercengkerama dengan gadis kecil di sampingnya. Kedua manusia itu mengulurkan tangan mereka ke  tetesan air hujan yang mengalir dari atap halte.

“Dasar makhluk primitif! Hujan masih air! Kalo hujan duit baru lo bisa bilang bagus!” runtuk Tara dalam hati, tidak bisa menahan kekesalannya yang makin tersulut. Ia masih menatap tidak suka pada kedua makhluk Tuhan yang dirasanya sangat nista itu.

“Febi mau hujan-hujanan, ga?” Tara bisa melihat gadis TK itu tersenyum lebar dan mengangguk dengan semangat.

“Cih! Dasar bocah!” dengus Tara tertahan. Ia menghela nafas dalam, lalu menyudahi kegiatannya yang ternyata sangat tidak berguna itu.

Tara menatap hujan dengan malas. Ia lalu mengeratkan pelukannya sendiri pada tubuhnya yang mulai menggigil. Ia mengangkat tangan kanannya.

03.23 p.m.

“Stres!!” Baiklah. Mungkin hari ini Tuhan sedang berbaik hati karena ingin meningkatkan kadar kesabaran gadis itu.

“Yaa Allah, dua jam! Niat sekali, Gusti?!” Tara menggeleng dramatis sambil menatap heran langit yang masih kelabu.

“Ini pasti gegara gue abis sholat tadi langsung ngacir cari makan, alih-alih do’a dengan baik dan benar.” Tara bermonolog untuk kesekian kalinya, mengambil kesimpulan yang sesuai dengan cara kerja pemikirannya.

“FEBI, AWAS!!”

Baru saja Tara ingin kembali mengeluh, sebuah teriakan berhasil mengambil seluruh atensinya. Belum selesai Tara mengerutkan keningnya, tubuhnya langsung ambruk. Ia bisa merasakan nyeri di kepalanya yang mulai menjalar. Belum lagi badannya yang remuk karena sesuatu yang berat telah menindihnya. Tara masih memejamkan matanya untuk menahan rasa nyeri yang luar biasa.

“Lo, ga papa?” Sebuah suara berat sedikit menyadarkan Tara yang mulai pening. Ia bisa  melihat raut khawatir yang terpancar dari wajah laki-laki yang berjongkok di sampingnya. Tapi, Tara tidak peduli sama sekali. Ia berusaha untuk duduk. Saat laki-laki itu mencoba untuk membantunya, Tara dengan kasar langsung menepisnya.

“Ga perlu!” bentak Tara dengan kesal. Sudah cukup dengan kesialannya hari ini. Tara muak.

“Gue minta maaf buat adek gue. Maaf banget, dia ga sengaja.” Ucapan itu sukses membuat Tara memicingkan matanya. Ia lalu menatap tidak suka pada gadis TK yang sudah menyembunyikan badannya di belakang remaja laki-laki itu.

Tara memilih diam dan membersihkan tangannya yang kotor. Ia menghembuskan napasnya kasar. Bagus! Seragamnya kini sudah mirip dengan kubangan kerbau.

Baru saja Tara mau berdiri, dua buah tangan mungil terulur di hadapannya. Tara menatap sinis gadis TK yang sedang menatapnya dengan senyum kikuk. Bocah itu menengadahkan kedua tangannya tepat di hadapan Tara, seperti meminta sesuatu.

“Apa?! Mau minta dui-”

“Febi mau minta maaf.” Bukan bocah itu yang bilang. Tapi, laki-laki yang kini Tara taksir adalah kakak kelasnya. Seragam mereka sama, tetapi badge mereka berbeda. Tara baru menyadari itu.

Tara mengalihkan tatapannya, bergantian melihat dua manusia yang  sudah basah  kuyup di hadapannya itu. Lalu berpaling, menatap lurus ke depan. Ia tersenyum kecut lalu menggeleng pelan. Sadar, ia meratapi nasibnya yang sangat sial hari ini.

Tara berniat bangkit, ingin segera enyah dari tempat ini. Namun, sebuah tangan besar menahan tangannya untuk menopangnya berdiri. Tara menatap laki-laki tadi dengan lelah.

“Apa lagi?” ucap Tara frustasi membuat laki-laki itu mengerutkan keningnya dan mengangkat alis kirinya.

“Lo belum maafin Febi.” sergah laki-laki itu membuat Tara tersenyum merendahkan. “Buat apa? Bahkan, dia aja sama sekali ga butuh.”

“Maksud lo?” Wajah Tara seketika datar setelah mendengar itu.

“Maksud lo ngewakilin dia ngomong apa? Bisu?”

Senyap. Tidak ada sahutan yang Tara dapat. Dan kini, laki-laki itu malah menatapnya tajam. Sangat tajam, hingga entah mengapa tiba-tiba Tara merasa risih dan…bersalah?

“Febi, ayo pulang!” ajak laki-laki itu datar. Namun, gadis TK itu masih bergeming di tempatnya. Ia menunduk dalam. Meski samar, Tara bisa merasaan tatapan sendu dari gadis kecil itu. Tara semakin risih.

Tak lama, gadis kecil itu mendongak. Ia menatap Tara dalam. Lalu, dengan cepat tersenyum. Gadis itu berbalik sebentar untuk mengambil board kecil yang ada di tasnya. Tepat di hadapan Tara, gadis kecil itu menulis pada board tadi dengan berjongkok. Bingung, Tara dengan segera menatap laki-laki di belakang gadis kecil itu. Namun, laki-laki itu malah memalingkan wajahnya dan tersenyum kecut.

Tara kembali memperhatikan gadis TK yang masih menulis di hadapannya dengan serius. Tara semakin merasa ada yang tidak beres.

Tak lama kemudian, gadis itu mendongak dan memberikan board kecil itu kepada Tara. Di saat yang bersamaan, Tara bisa melihat ada genangan air yang sudah berada di ujung mata bulat gadis kecil di depannya. Tara yakin, sekali kedipan saja genangan air itu akan hancur. Dan hal itu membuat Tara semakin merasa bersalah.

Dengan tersenyum manis, gadis kecil itu menggerakkan kedua tangannya. Membuat berbagai bentuk, yang Tara yakini semakin membuat hatinya teriris. Tara menunduk dengan rasa perih yang menggerogoti hatinya. Dan tanpa sengaja, Tara membaca sederet kalimat yang ditulis oleh gadis kecil tadi.

Tara diam. Di tempatnya, ia membeku dan tak bisa berbuat apapun hanya untuk sekedar membuat keadaan agar tidak semakin rumit. Tara kacau.

Merasa tidak ada tanggapan, gadis kecil tadi menyentuh pipi Tara dengan lembut. Ia tersenyum ketika Tara menatapnya penuh.

“Tara Nandini. SMA Dirgantara. Murid baru kelas satu. Gue harap otak dan hati lo ga bisu buat ngingetin elo tentang hari ini.”

Tara kaku. Kalimat yang baru saja ia dengar semakin menampar keras diri dan batinnya. Tidak menunggu lebih lama lagi, laki-laki itu segera menarik dan membawa adiknya enyah dari tempat tersebut.

Tara kembali menunduk dalam diam. Otaknya berperang hebat dan hatinya hancur menahan perih yang semakin menggerogotinya. Netranya kembali menatap sederet kalimat yang kali ini membuatnya tidak mampu lagi menahan tangis.

FEBI BISU. MAAF, KAK : )

Sungguh, bagaimana bisa ia sebodoh ini?!


No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.