Iklan Layanan

Cuplikan

Menilik Rumah Terapi Jiwa di Paringan

(Foto: Zaki)

Features Oleh: Zaki 

Desa Paringan merupakan sebuah desa di Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo. Desa ini terletak paling timur di Kecamatan Jenangan yang berbatasan dengan sebelah timur Desa Pomahan, Kecamatan Pulung, dengan luas wilayah 688.525 Ha. Dataran di desa ini berupa lereng-lereng sekitar 700 M di atas permukaan air laut. Berdasarkan data Administrasi Pemerintahan Desa pada tahun 2016, jumlah penduduk Desa Paringan terdiri dari 1.074 Kepala Keluarga (KK), dengan jumlah total penduduk 6.088 jiwa, dengan rincian 3.009 laki-laki dan 3.079 perempuan.

Sejak tahun 2016, Desa Paringan dipimpin oleh Suwendi. Pada 17 April 2021 lalu, Desa Paringan menyabet juara satu Lomba Desa di tingkat Kabupaten Ponorogo, mengalahkan Desa Trisono, Kecamatan Babadan di posisi kedua dan Desa Ngasinan, Kecamatan Jetis di posisi ketiga. Dengan hasil tersebut, Desa Paringan terpilih untuk mewakili Kabupaten Ponorogo dalam Lomba Desa di Tingkat Provinsi Jawa Timur Tahun 2021.

Perjalanan dari basecamp LPM al-Millah ke Desa Paringan ditempuh dalam waktu kurang lebih satu jam dengan kecepatan rata-rata 60 km/jam. Desa ini masih tergolong asri dengan kontur tanah yang naik turun dan dikelilingi oleh persawahan. Kondisi jalanannya tergolong baik, mengingat Desa Paringan terletak jauh dari pusat keramaian kota. Meskipun demikian, desa ini berbeda dengan image desa pada umumnya. Pasalnya, lalu lalang dan aktivitas warga desa yang tergolong ramai untuk ukuran desa. Rumah-rumah di desa ini juga terkesan tidak tradisional meskipun tidak se-modern rumah-rumah di perkotaan. Pembangunan dan inovasi di desa juga tergolong maju, seperti adanya Wisata Tubing Kali Kajar, Badan Usaha Milik Desa yang mengelola sumber air menjadi air siap minum yang bernamakan Banyu Mili (BALI) dan Rumah Terapi Jiwa Margo Widodo. 

Desa Paringan ini, dulu sempat mendapat stigma buruk dari media dengan sebutan Kampung Gila. Setelah kami menanyakan kepada Suwendi selaku Kepala Desa saat ini, beliau menceritakan asal-muasal sebutan tersebut. Hal tersebut bermula saat ada survei dari Rumah Sakit Lawang, Malang ke Paringan dan kebetulan menemui ODGJ yang duduk-duduk di sekitaran kantor desa. Bertepatan dengan itu pula, ada wartawan yang memberitakannya. “Kebetulan pas survei ke kantor desa itu katanya ada orang gila yang jelas duduk-duduk di sekitar kantor desa. Kebetulan juga ada wartawan dan akhirnya jadi berita,” tuturnya saat kami temui di lapangan Desa Paringan. 

Beliau juga mengklaim bahwa kasus Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) tidak seheboh yang diberitakan oleh wartawan. Memang ada beberapa warga yang memiliki gangguan mental, tapi Suwendi mengatakan bahwa jumlahnya masih dalam batas wajar.

Setelah tiga kali bolak-balik Ponorogo-Paringan, akhirnya kami diberi kesempatan untuk mengobrol dan bertanya-tanya dengan Heru Setyawan selaku pengelola Rumah Terapi Jiwa Margo Widodo. Beliau mengatakan bahwa Rumah Terapi Jiwa ini adalah manifestasi dari panggilan jiwa beliau ketika melihat ODGJ.

Hal ini dibenarkan oleh Suwendi selaku Kepala Desa saat ini. Dari keterangan beliau, Rumah Terapi Jiwa dipelopori oleh Heru dan keluarga pada tahun 2007. Awalnya hanya ada beberapa pasien dari warga Paringan saja. Setelah diketahui hasil dari rumah terapi ini bagus, banyak orang yang mulai datang ke Rumah Terapi Jiwa sehingga jumlah pasiennya harus dibatasi karena keterbatasan tenaga. “Akhirnya banyak yang datang banyak yang pengen ke sini sampai saat ini. Cuma, karena keterbatasan tenaga akhirnya dibatasi,” terangnya. 

Meskipun Rumah Terapi Jiwa adalah inisiatif Heru dan dikelola secara mandiri oleh beliau dan keluarga, kami sempat melihat bahwa lembaga ini sudah memiliki akta notaris dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang menunjukkan bahwa lembaga ini resmi dan sudah mendapat izin operasional dari pemerintah.

Heru juga menyatakan bahwa dia tidak memiliki latar belakang pendidikan kedokteran maupun psikologi yang berhubungan dengan kejiwaan seseorang. Namun, Heru menyebutkan bahwa ilmu untuk menangani pasien jiwa didapat dari pengalaman langsung ketika mengantarkan pasien jiwa berobat ke Rumah Sakit Jiwa di Malang maupun Solo. Konsultasi demi konsultasi itulah yang diterapkan Heru untuk merawat pasien jiwa di lembaga miliknya.

Melihat latar belakang Heru yang tidak memiliki pendidikan kesehatan maupun psikologi yang resmi, maka dibutuhkan tenaga kesehatan yang berlisensi resmi yang mengisi posisi tersebut. Disinilah peran Puskesmas Pembantu menjadi vital. Sebelumnya, pemerintah meminta Desa Paringan menyediakan lahan untuk pembangunan Puskesmas Pembantu. Namun, atas hasil rundingan warga desa, akhirnya disepakati untuk mengalihfungsikan bangunan bekas SD menjadi Puskesmas Pembantu. “Kita runding sama seluruh warga desa, akhirnya disetujui dan gedung bekas SD dijadikan Puskesmas Pembantu,” ungkap Heru.

Peran Puskesmas Pembantu disini adalah penyalur obat-obatan bagi pasien jiwa di Rumah Terapi Jiwa milik Heru. Sulin adalah salah satu tenaga kesehatan di Puskesmas Pembantu Desa Paringan. Dari keterangan Sulin, pengiriman obat ke Rumah Terapi Jiwa milik Heru dilakukan dua minggu sekali. Ada beberapa pasien yang ke Puskesmas Pembantu sebelum diberikan ke Rumah Terapi Jiwa dan ada yang langsung ke Rumah Terapi Jiwa tanpa ke puskesmas.

Sedangkan metode terapi yang digunakan Heru untuk merawat pasien jiwa dengan psikoterapi, yakni dengan mengajari pasien untuk melakukan kegiatan secara mandiri. Beliau mengatakan bahwa ODGJ perlu diajari kegiatan sehari-hari agar mengembalikan kesadaran dan syaraf-syaraf otak yang rusak. Heru sendiri tidak bisa memberitahu rata-rata waktu yang dibutuhkan pasien untuk sembuh. Perlu dibutuhkan waktu berbulan-bulan hingga bertahun-tahun hingga sembuh. Meskipun sudah dinyatakan sembuh, mereka masih beresiko untuk kambuh sampai mereka meninggal.

Kami juga diberi kesempatan untuk melihat-lihat kondisi di dalam Rumah Terapi Jiwa. Jumlah pasien di dalam Rumah Terapi Jiwa berjumlah 10 orang dengan 4 kamar. Ketika kami masuk, beberapa pasien mengerubungi kami dan ada beberapa yang menyapa. Kami berusaha tenang meskipun dalam hati kami sedikit panik dan tegang. Kondisi pasien juga bervariasi. Ada yang sudah cukup sembuh, ada yang sudah mulai bisa mencuci baju sendiri, dan ada yang masih belum diizinkan keluar dari kamarnya. Umur merekapun bervariasi, ada yang masih muda hingga yang sudah beruban.

Setelah itu kami undur diri untuk pulang karena matahari sudah memancarkan sinar oranye kekuning-kuningan. Itu adalah pengalaman berharga yang tidak bisa diuangkan. Siapa yang menyangka di desa yang jauh dari hingar-bingar dan hiruk pikuk kota, terdapat keunikan tersendiri yang menjadi sesuatu yang tidak bisa ditemukan di desa lain. Tidak heran jika Desa Paringan ini menjuarai Lomba Desa di Tingkat Kabupaten Ponorogo dan mewakili Kabupaten Ponorogo dalam Lomba Desa Tingkat Provinsi Jawa Timur.


No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.