Iklan Layanan

Cuplikan

Pengabdi UAS yang Agung

Oleh Zaenal Abidin



Kalau kita mau sedikit lebih lebar membuka segala jenis ‘mata’ dalam diri kita untuk mencari bahan obrolan yang agak lebih elit daripada basa-basi kultural, mungkin beberapa kabilah di Desa Watoe Dhakon akan menjatuhkan pilihan objek pembicaraan pada UAS. Bukan hanya karena ia  menang mutlak dari segi anget lur (kekinian)-nya daripada persoalan-persoalan periodik macam kehilangan helm, hp atau laptop, fasilititas rusak, parkir semrawut dan seterusnya. Tetapi hal apapun tentang UAS terasa lebih hits, menarik dan medsos-able. Saya tidak sedang memperbincangkan tokoh pendakwah agama tertentu.

Saya berandai-andai desa ini punya lembaga berskala lokal yang tugasnya mensensus apapun. Macam lembaga survey, bisa BPS, ICW dan sebagainya. Saya yakin UAS akan jadi pemuncak billboard Trending topic di kampung ini. Setidaknya untuk kurun sepekan terakhir dan sepekan ke depan. Penduduk kampung yang dikatakan intelek  saat ini tengah berpartisipasi langsung dalam pagelaran dua kali setahun ini.

Beberapa hari ini saya rasakan cuaca di teritori Watoe Dhakon berubah. Sedikit berbeda dari yang saya dapati lima bulan ke belakang. Kehadiran UAS disambut sangat antusias oleh seluruh lapisan masyarakat. Jadwal kerja dan aturan main yang digodok oleh lurah bersama para pamong jadi terlihat lebih ditaati oleh warga. Mulai dari jam berapa harus masuk ruang dinas, selesai dan keluar, hingga atribut, pakaian, atasan dan bawahan yang mesti dikenakan. Lebih rapih, begitu yang tampak. Itu semua dilakukan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan bagi seluruh warga, tentunya.

Demi kelancaran atas terselenggaranya UAS, dinas penyimpanan buku dan arsip di dusun Indrakila pun harus mengalah. Yang biasanya memulai pelayanan sejak matahari setinggi tombak, para abdi dusun baru siap-siap setelah matahari hampir istiwa’.

Saya juga melihat banyak anak muda berlalu-lalang menenteng tumpukan kertas yang mereka sebut makalah di tangan kiri. Di seberangnya tak pernah ketinggalan menggenggam erat ponsel yang smart. Banyak dari mereka menggendong tas yang terlihat berisi. Pasti di dalamnya buku-buku tebal dan berat untuk mendukung kemajuan pendidikan negeri ini. Satu sama lain saling menjalin komunikasi. Tanya-jawab seputar teori-teori yang ndakik-ndakik.

Namun ada hal yang membuat dahi kawan-kawan saya sedikit berkerut. Kawan-kawan saya itu memiliki lebih banyak perhatian terhadap dinamika kehidupan dan masa depan muda-mudi kampung ini daripada saya. Mereka sedikit gelisah karena sebagian besar kaum cendekia di sini masih menempatkan UAS sebagai pemegang otoritas selamat-tidaknya nasib para pemuda menuju semester berikutnya. Bukan lagi sebagai media evaluasi. Bukan lagi cermin introspeksi diri untuk menghitung sudah sampai mana proses pemahaman atas materi yang diperoleh selama lima bulan. 

Ini pun masih belum menyentuh tataran penerapan empirik atas teori. Pikir saja, mana mungkin implementasi praktis dan kreativitas mereka atas teori yang ditampung dari sabda-sabda mahaguru di bilik-bilik pendidikan itu bisa diukur secara akurat menggunakan tulisan pada secarik kertas hasil dialektika nalar dan emosi selama maksimal 75 menitan itu.

Agak lebih memprihatinkan, masih tumbuh subur keyakinan bahwa nilai (IPK) adalah hasil mutlak dari proses belajar selama lebih dari 600 hari itu. Jadi, mereka berangkat pagi pulang siang bahkan petang, hasilnya adalah huruf abjad. Kita juga terlanjur percaya bahwa abjad-abjad itulah yang nantinya menjadi lokomotif maglev untuk melesat supercepat menuju dunia yang sesungguhnya (dunia kerja). Jadi, mereka sekarang ini bukan sedang berada di dunia yang sesungguhnya? Maya? Dolanan? Tipuan?

Mau bagaimana lagi. Itu juga imbas dari pembagian porsi bahan-bahan yang menjadi komposisi penentu atas selamat-tidaknya para pemuda di semester ini. Pertarungan selalu kurang seimbang, antara UAS, UTS, absensi kehadiran, keaktifan dan perilaku keseharian dalam kelas. Selalu saja yang dapat jatah paling banyak adalah UAS. Bisa 25 bahkan 40 persen.

Mau bagaiamana lagi. Hati mereka pasti jadi tinggi bila ada yang bertanya IPK-mu berapa, dan dijawab mantab penuh percaya diri. Nilai adalah simbol eksistensi. Setidaknya, setelah lulus dan berniat melamar kerja, ada sedikit jaminan akan lolos seleksi administrasi.

Sudah membudaya memang. Di akhir tahun akademik, bapak ibu wali murid lebih antusias untuk menanti hasil rapor buah hati mereka daripada bertanya tentang bagaimana proses belajar si anak. Kita tidak pernah sungguh-sungguh terbiasa untuk melakukan refleksi di akhir episode pendidikan, atas perilaku, metode belajar, absensi dan kecacatan pemahaman atas ilmu dan pengetahuan yang didapat. 

Di satu sisi, hasil akhir itu memang penting. Tetapi bukan segalanya. Permainan Real Madrid di era Mourinho mencerminkan filosofi pragmatis itu. Menyetak gol sebanyak-banyaknya adalah inti sepakbola. Bermain cantik itu nomor sekian. Hal itu menjadi negasi atas permainan tiki-taka Barcelona era Guardiola. Blaugrana disegani di seantero bumi kala itu karena filosofi bermain cantik nan menghibur dan syarat kemenangan. Meskipun akhirnya runtuh juga oleh gegenpressing ala Bavarian, mereka benar-benar menjadi penguasa sepak bola saat itu. Poin pentingnya adalah para pemuda kampung ini harus mulai belajar terbiasa untuk menanamkan pola pikir process oriented di samping result oriented, apalagi profit oriented.

Selain sebagai agen intelektual, muda mudi kampung ini semoga tidak lupa bahwa mereka adalah agen perubahan dan kontrol sosial. Meskipun sebenarnya negeri ini lebih membutuhkan agen perbaikan. Tidak muluk-muluk.

2 comments:

  1. good, kualitas hasil belajar kita memang tidak cukup hanya diukur dari hasil ujian, lebih dari itu, bagaimana mahasiswa mampu menginternalisasikan values, baik yang diperoleh dari bangku kuliah ataupun kehidupan mereka sehari-hari.

    ReplyDelete
  2. Ujian sekolah adalah salah satu metode evaluasi. Mindset seperti ini perlu dipahami oleh bukan hanya mahasiswa, guru dan siswa tetapi juga orang tua. Memang, hasil ujian bisa dijadikan sebagai satu indikator pemahaman atas materi. Namun itu belum menyentuh tahap penerapan atas teori, bahkan internalisasi atas nilai. Seperti yang saudara unknown nyatakan.

    ReplyDelete

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.