Yang Masih Sahabatku
Yang Masih Sahabatku
Oleh : Airyn
Pagi
hari mulai menjelang. Matahari berkedip di antara puncak perbukitan yang masih
berembun. Udara berhembus pelan sekali, namun aroma dingin masih tersisa dalam
atmosfer bumi. Findy, seorang gadis SMP, menghampiri dapur seusai mandi.
Dijumpainya sang ibu tengah menyiapkan sarapan, dan ayah asyik membaca korannya
sambil menyeruput kopi hitam yang masih mengepul.
“Berdoa
dulu sebelum makan.” Kata ayahnya mengingatkan
“Bismillahirrohmanirrohim..”
“Doanya?”
“Sudah
ayah.” Jawab Findy tegas, “Dalam hati.” Lanjutnya dengan lirih.
Ayah
menggeleng-gelengkan kepalanya dan Findy membalasnya dengan senyum manis tanpa
dosa.
“Habis
ini kamu mondok ya.”
“Aku
maunya sekolah di SMA Malang sama Risa, beasiswa dari yayasan 5 agama ayah.”
“Pokoknya
kamu harus mondok.” Kata-kata ayah yang tegas, terasa dingin.
Findy
menatap ibunya meminta pertolongan, tetapi ibu hanya memandangnya dan
mengangkat bahu.
Ayah
mulai menyantap sarapan dengan tenang, sementara Findy hanya mengaduk-aduk
makanannya seolah hilang semangat makan.
_
Findy
mengikat tali sepatunya di beranda rumah. Lalu terdengar suara panggilan yang
tiba-tiba.
“Findy..” Findy
menoleh dengan cepat mendengar namanya disebut.
“Ayo
cepet berangkat.” Kata seorang gadis berambut pendek.
“Iya
Risa.”
Findy
dan Risa mengambil langkah bersama menyusuri jalan yang berbatu. Jalan yang
berliku, yang terkadang menanjak dan menurun tajam. Hijau pepohonan menjulang
di sekitarnya. Melewati masjid desa, yang setiap kamis sore digunakan sebagai
tempat pembelajaran Al quran, juga melewati vihara, yang setiap minggu
dihadiri Risa untuk beribadah.
Risa
berbelok tepat satu ruangan sebelum Findy. Bukan karena mereka tak seumuran. Bukan
pula karena berbeda kelas. Tetapi perbedaan sebuah keyakinan yang membuat
mereka terpisah saat mata pelajaran agama. Islam dan Budha. Dua agama yang
indah, berbaur di sebuah desa kecil nan asri.
_
Permukaan
sungai nampak hening. Aliran air yang kecil, dengan serpihan-serpihan daun
kering yang terhanyut, serta sedikit gemericik air tak mengurangi aura sepi. Sama
seperti dua insan yag terduduk di tepinya, menatap kosong pada pemandangan alam
dihadapan mereka. Setelah pengumuman kelulusan diumumkan, Risa dan Findy
mengurung diri pada sungai, tempat kenangan persahabatan mereka tercipta. Lalu
gejolak api sedikit muncul. keinginan untuk bersama menimba ilmu di kota
seberang, walau berbeda agama namun dengan beasiswa yang sama, semua hangus karena
keputusan sepihak dari Findy. Ayah yang tak mengizinkan anaknya. Risa menolak
permohonan maaf, persahabatan ini dianggapnya telah usai.
Bertahun-tahun
telah berlalu, Findy dan Risa tak lagi saling bertemu. Takdir yang tergaris,
memisahkan mereka hingga tak bersapa. Entah
bagamana takdir mampu memutus kata diantara mereka berdua. Malam-malam yang
panjang kala dingin menghampiri, mengingatkan bahwa sahabat adalah bayangan
yang tak mungkin menghilang. Findy dan Risa masih saling mengingat.
Setelah
lulus dari sebuah sekolah menengah atas yang menyatu dengan pondok di kota
kediri, Findy melanjutkan kuliahnya disana lalu kembali menginjak kampung
halamannya. memilih berbakti pada lembaga pendidikan yang pernah mencerdaskan
kehidupannya.
“Mbak
Findy?”
“Iya?”
Seorang
guru menunjuk sesuatu di sudut ruangan. “Ada buku donasi dari alumni. tolong di
catat di administasi.”
Findy
membuka kardus besar yang terletak disana. Sebuah buku bersampul pelangi
mencuri perhatiannya. ia mengambil buku itu, lalu terjatuh sebuah kertas putih
darisana.
Untuk Findy, yang masih sahabatku
salam hangat,
aku ingin minta maaf, karena pernah memutus kata persahabatan
dalam kehidupan kita. aku dengan egoku, dan kamu dengan keputusan dingin
ayahmu. aku minta maaf.
Findy mengerjap. Tak pernah ada yang
salah, dalam takdir atau realita. Persahabatan tak akan pernah usai, walau
segalanya tak terjamah waktu.
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.