Iklan Layanan

Cuplikan

Sumpah Pemuda: Pedagogis terhadap Mahasiswa sebagai Agent of Change

 

(Ilustrasi: www.canva.com)

Oleh: Miftahul Munir

 

Sebagai pembuka, pada 28 Oktober tahun kemarin, di antara gemuruh toa-toa melantangkan teks sumpah pemuda; di sela-sela publikasi pamflet peringatan Hari Sumpah Pemuda, dengan sedikit percaya diri karena masih menjadi mahasiswa baru yang berumur dua bulan, saya dan kawan-kawan mahasiswa Jurusan Sejarah Peradaban Islam mengadakan kajian kesejarahan dengan tema “Paradigma Sejarah dalam Relevansi Zaman”. Tentu tema tersebut lumayan berat, di mana paradigma sejarah mempunyai cakupan yang luas dan itu harus bisa diaplikasikan di zaman digital yang terus berkembangbercabang sesuai ruangnya.

            Di lain sisi, bagi saya pribadi, 28 Oktober menjadi langkah awal ‘berproses’ di lingkungan mahasiswa ini. Saya mulai meraba bagaimana (seharusnya) mahasiswa, terlebih mahasiswa sejarah. Siapa yang berkompeten membantu atau setidaknya memberi sedikit gambaran meniti jalan tersebut? Tentu dua pertanyaan tersebut membuat saya gelisah dan kelabakan. Maklum masih mahasiswa baru.

            Di antara sekian banyak nama di kepala, tiba-tiba saya ingat satu nama yang jadi pertimbangan berulang-ulang dan mencoba diobrolkan dengan kawan-kawan. Kak Frengki namanya. Akhirnya, kami memutuskan untuk menjadikan dia sebagai sosok yang memberi gambaran awal bagaimana (seharusnya) mahasiswa.

            Saya tak akan membahas bagaimana Kak Frengki memberi gambaran awal mengenai (seharusnya) mahasiswa di hadapan saya dan kawan-kawan yang lainnya. Namun, saya ada pertanyaan-pertanyaan yang belum menemukan jawaban. Saya masih ingat ada satu kalimat yang tidak pernah alpa disebutkan dalam forum PBAK, yaitu agent of change. Makin ke sini, pertanyaan itu makin memburu. “Ke mana ‘mereka’ yang teriak lantang bahwa mahasiswa adalah agent of change?”; “Apa yang telah mereka buat untuk menuju cita-cita yang konon mulia itu?” Saya tak mendapati wajah ‘mereka’ sama sekali. Satu wajah pun. Dan pada momen sumpah pemuda ini, saya perlu mempertanyakan jiwa nasionalisme mereka.

Munculnya Perkumpulan Pemuda

Sekilas, ketika tanggal 28 Oktober ditetapkan sebagai Hari Sumpah Pemuda, tentu sebagian besar pemuda di Indonesia merasa (sedikit) bangga, termasuk saya. Bagaimana tidak?! Secara tidak langsung, negara menghargai jasa pemuda (tempo dulu). Peristiwa-peristiwa besar yang terjadi di Nusantara, entah sedikit banyak selalu ada campur tangan pemuda. Mulai dari Perang Jawa (18251830) hingga pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Dari segi historis, munculnya sumpah pemuda merupakan tindak lanjut adanya perkumpulan pemuda yang tidak terima atas konsep pendidikan dan aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintahan Hindia-Belanda. Salah satunya R.A Kartini.

Pada tahun 1905, Kartini mulai mengemukakan gagasannya bersamaan dengan kebangkitan bangsa Asia yang ditandai oleh kemenangan Jepang atas Rusia. Gagasan-gagasan Kartini ini ditulis dalam bentuk surat yang kemudian dibukukan dengan judul Door Duisternis tot Lichts (Habis Gelap Terbitlah Terang). Sehingga entah diakui atau tidak, bangkitnya kesadaran nasionalisme pada waktu itu tidak bisa lepas dari gagasan-gagasan yang dikemukakan berbentuk semboyan oleh Kartini. Seperti door nacht tot licht (habis gelap terbitlah terang), door storm tot rust (sereda taufan akan timbul ketenangan), door strijd tot eer (setelah perang akan muncul kehormatan), dan masih banyak lagi.

Dalam perjalanannya, sumpah pemuda memerlukan waktu yang lama, tokoh yang banyak, dan fase yang tidak bisa dikatakan mudah. Apalagi dengan munculnya beberapa organisasi seperti Boedi Utomo (1908), Sarikat Islam (1905), Muhammadiyah (1912), dan Indische Partij (1912). Kemudian pada 1915, Satiman Wirjosandjojo mendirikan Tri Koro Dharmo (Perkumpulan Pelajar Jawa dan Madura). Namun, Satiman Wirjosandjojo mempunyai keyakinan bahwa nama perkumpulan ini bersifat sementara, karena jika ada keinginan persatuan dari perkumpulan pemuda luar Jawa, maka perkumpulan ini akan diganti dengan nama Perkumpulan Pemuda Nusantara.

Berdirinya beberapa organisasi tersebut dilatarbelakangi oleh jiwa yang sama, yaitu nasionalisme. Meski juga tidak mudah untuk menyatukan banyak pemikiran yang ada waktu itu. Perlu banyak kongres untuk menyepakati fungsionaris dan tujuan-tujuan adanya perkumpulan tersebut, sehingga sampai pada titik di mana kongres tersebut menghasilkan gagasan-gagasan yang termaktub dalam teks sumpah pemuda.

Kemudian di lain sisi, kita juga perlu memasukkan satu tokoh penting dalam penyusunan gagasan dan tujuan perkumpulan pemuda, yaitu Raden Mas Soewardi Soeryaningrat atau Ki Hajar Dewantara. Tahun 1913, Soewardi Soeryaningrat menggugat perayaan 100 tahun kemerdekaan monarki Belanda dari penjajahan Perancis dengan membuat tulisan yang berjudul “Als ik eens Nederlander was” (Sekiranya Saya Seorang Belanda) dan dimuat dalam De Express pada 19 Juli 1913. Soewardi Soeryaningrat menganggap bahwa perayaan kemerdekaan penjajah di tanah jajahannya sendiri merupakan hal yang tidak lagi penghinaan, tapi hal yang tidak adil dan salah. Bahkan di akhir tulisannya, Soewardi Soeryaningrat berkata, “Sesungguhnya, jika saya seorang Belanda, saya tidak akan pernah merayakan peringatan kemerdekaan di sebuah negeri yang masih sedang dijajah. Pertama saya akan memberikan rakyat yang masih kita jajah itu kemerdekaan mereka dan kemudian merayakan kemerdekaan kita.

Agaknya di momen perayaaan sumpah pemuda, tentu kita sebagai mahasiswa tidak bisa meninggalkan pembahasan terkait konsep pendidikan yang itu selalu berhubungan dan juga bisa berlaku adil seperti yang diimpikan Pramoedya Ananta Toer, “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan.”.

Agent of Change

            Sebagai mahasiswa yang masuk lingkup pemuda dan mempunyai ‘beban’ agent of change, tapi masih ngene-ngene wae, apakah (masih) pantas bangga atas adanya peringatan hari sumpah pemuda? Mengko disik. Apabila mahasiswa dituntut bergerak bersama di satu jalur ataupun satu bidang, satu ‘identitas’, maka saya akan berada di barisan paling depan untuk menentangnya. Permainan macam apa itu? Ndak mashok blas dan jiwa nasionalismenya perlu dipertanyakan.

            Ketika mahasiswa dalam arah gerak hingga proses belajarnya diberi sekat-sekat, saya jamin 99% agent of change yang diimpi-impikan tidak bisa terwujud. Sekat-sekat mana yang saya maksud? Yaitu bahwa mahasiswa yang tidak mempunyai identitas yang sama (baca: ormek), latar belakang yang sama (baca: jurusan), dan ilmu yang dipelajari (harus sesuai dengan ideologi kampus). Pun apabila kampus melarang kegiatan mahasiswa yang dirasa mengganggu kenyamanan birokrat dan kampus yang tidak menerima kritik dari mahasiswa, maka itu jadi sekat yang tebal.

            Untuk mewujudkan cita-cita yang selalu dilontarakan di forum PBAK, yaitu mahasiswa sebagai agent of change, biarlah mahasiswa belajar dengan mengalir sesuai keinginan, porsi, dan tujuannya masing-masing. Seperti halnya yang dikatakan alm. Romo Iman Budhhi Santosa, “Sinau apa wae marang apa lan sapa wae, amrih ngerti marang apa lan sapa wae, satemah wani dadi apa wae” (Belajar apa saja kepada apa dan siapa saja, agar mengerti apa dan siapa saja, sehingga berani menjadi apa saja). Maka mahasiswa cukup dipantau dan diarahkan sekiranya benar-benar telah keluar dari jalur. Toh, kampus hanya sebagai wadah yang tidak bisa menjamin ketika mahasiswa lulus akan jadi apa.

            Kemudian kiranya kita perlu mengamini apa yang telah disampaikan oleh Seno Gumira Ajidarma dalam pidato kebudayaan di Jogja pada 2 Mei 2023 dengan judul “Sekolah Liar, Mengapa Tidak?”. Kita perlu menghidupkan konsep sekolah liar yang digagas Taman Siswa pada tahun 1922. Seno Gumira dalam pidato kebudayaan tersebut mengatakan bahwa menurut Ki Hajar Dewantara, penamaan Ordonansi Sekolah Liar dengan arti perlawanan pasif, yang bukan berarti berdiam diri secara lahir dan batin. Melainkan berdiam diri dan tidak berubah secara lahir, tapi dalam batin, tetap mempertahankan kebebasan, tidak mengakui kedaulatan lawan.

            Namun, tidak semua sekolah liar itu secara tak langsung merupakan gerakan pendidikan, sebagian dari gerakan politik, karena memang hanya dimaksud sebagai pengganti nafkah yang hilang dalam krisis ekonomi. Ki Hajar Dewantara sendiri menyebut sekolah liar semacam itu sebagai ‘rumah perniagaan’, ‘toko’ untuk menjual ilmu, yang guru-gurunya adalah tukang dagang ‘intelek’. Tiada lain dan tiada bukan, sekolah sebagai pengecer ilmu.

Benar saja pada tahun 1930, sekolah liar tumbuh subur karena krisis ekonomi yang memaksa pemerintah kolonial memotong anggaran pendidikan, sehingga membuat kaum guru yang nafkahnya berasal dari mengajar menyelenggarakan pendidikan mandiri. Pun sekolah liar tidak menganggap bahwa sekolah formal (pada hari ini) tidak perlu atau tidak penting. Tidak begitu. Sekolah liar yang perlu kita hidupkan kembali hanya untuk menebus dosa-dosa pemerintah yang dilakukan di bangku-bangku pendidikan.

Maka akhirnya, apabila kemudian kita memperingati 28 Oktober sebagai hari Sumpah Pemuda, tentu kita tidak bisa meninggalkan nilai historis pada tanggal 2 Mei, di mana Hari Pendidikan diperingati. Sebab latar belakang munculnya Sumpah Pemuda adalah kegelisahan pemuda pada waktu itu terhadap konsep dan aturan pendidikan pemerintah Hindia-Belanda. Dan untuk menjadi agent of change, tentu kita (sebagai mahasiswa) dianjurkan lebih dulu mengembangkan diri dalam dunia pendidikan, entah formal atau pun tidak, sebelum menuju kepada sesuatu berskala besar dengan membuang identitas dan membuang jauh kondisi jiwa yang merasa paling bisa. Tabik!

__ 

Daftar Bacaan:

Momon Abdul Rahman dkk, Sumpah Pemuda: Latar Sejarah dan Pengaruhnya bagi Pergerakan Nasional. Jakarta: Museum Sumpah Pemuda, 2005.

Kenji Tsuchiya, Demokrasi dan Kepemimpinan: Kebangkitan Gerakan Taman Siswa. Terj. H. B. Jassin. Jakarta: Balai Pustaka, 1992.

Teks Pidato Kebudayaan Seno Gumira Ajidarma. Yogyakarta: 2023

No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.