Iklan Layanan

Cuplikan

Mempertanyakan Profesionalitas Kepolisian

 



(Gambar: id.pinterest.com)

Opini oleh: Miftah

Kepolisian Republik Indonesia atau kerap disingkat Polri merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat; dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Begitulah Polri didefinisikan pada Kompaspedia, tepat bagian laman paling atas. Tentu saja, definisi tersebut sesuai dengan tugas utamanya yaitu melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Sayangnya, belakangan ini terdapat rentetan kasus yang mencoreng citra dan reputasi kepolisian oleh para ‘oknum.

Pertama-tama, ada kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J oleh Irjen Ferdy Sambo. Kasus yang bergulir selama kurang lebih 3 bulan sejak 17 Oktober 2022 lalu, telah melewati berbagai lika-liku persidangan yang mirip game Snake di HP Nokia jadul. Hal ini disebabkan oleh banyaknya pihak yang terlibat dan juga rumitnya proses penyelidikan. Barang bukti yang tiba-tiba hilang, dugaan pelecehan seksual, dan otopsi ulang merupakan beberapa peristiwa yang melingkupi proses penyelidikan.

Pada sidang perdana, Ferdy Sambo sebagai tersangka mengajukan eksepsi (nota keberatan) yang meminta agar hakim membatalkan segala dakwaan jaksa. Eksepsi yang diajukan antara lain berisi tentang penguraian peristiwa dari jaksa yang tidak cermat dan tidak lengkap serta penghentian pemeriksaan dan penahanan juga pemulihan nama baik Ferdy Sambo beserta tersangka lainnya. Namun, eksepsi tersebut ditolak oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), sehingga para tersangka tetap ditahan. Di samping itu, Putri Candrawathi yang merupakan istri Ferdy Sambo justru dibebaskan dengan alasan kemanusiaan.

Melihat kasus di atas, penulis menjadi sedikit heran. Pasalnya, pihak kepolisian yang idealnya bertugas untuk menjaga ketertiban, justru menjadi tersangka dari kasus pembunuhan. Terlebih, hal itu dilakukan oleh oknum yang berpangkat perwira tinggi polisi kepada bawahannya, yaitu antara Inspektur Jenderal kepada Brigadir Jenderal. Bahkan, tindakan pembunuhan juga turut “dibantu” oleh anak buahnya. Di sini, muncul satu pertanyaan; mengapa para anak buah Inspektur itu bersedia “membantu” proses pembunuhan? Bukankah mereka mengetahui bahwa bagaimanapun aksi tersebut adalah suatu tindakan yang tidak benar?

Penulis merasa aneh. Biasanya, proses masuk ke dalam institusi sekelas polisi sangatlah ketat. Sudah menjadi hal yang pasti bahwa oknum yang menjadi tersangka di atas pun merupakan bagian dari orang-orang terpilih yang lolos seleksi alam. Kalau begini, penulis jadi tergelitik untuk mempertanyakan proses seleksi polisi. Ah, tapi tak perlu rasanya suudzon dengan prosesnya. Kiranya, mereka adalah orang-orang yang menggunakan jalur orang dalam dan modal 300 juta puasa Senin-Kamis.

Tak hanya kasus Sambo, ada pula tragedi Stadion Kanjuruhan yang terjadi pada awal Oktober 2022 lalu. Tragedi tersebut terjadi saat pertandingan antara Arema FC kontra Persebaya Surabaya bertempat di Stadion Kanjuruhan, Malang. Ketika pertandingan berakhir dengan skor 2-3 untuk kemenangan Persebaya, para pemain Arema bermaksud meminta maaf kepada seluruh Aremania (sebutan untuk supporter Arema FC) atas kekalahan yang mereka terima dengan berdiri menghadap supporter sambil melambaikan tangan. Namun, sejumlah supporter justru melakukan tindakan yang kurang tepat.

Terdapat oknum Aremania yang terjun ke lapangan sembari berlari membawa bendera. Hal tersebut memaksa pihak keamanan, dalam hal ini kepolisian, melaksanakan tugasnya. Namun, Aremania lain yang berada di tribun atas mengira telah terjadi keributan, sehingga banyak di antara mereka yang ikut-ikutan turun ke lapangan. Tanpa pikir panjang dan analisis terhadap peraturan yang berlaku, pihak kepolisian menembakkan gas air mata ke arah para supporter. Sayangnya, tembakan gas air mata tersebut tak hanya diarahkan pada supporter yang anarkis di dekat lapangan, tetapi juga ke arah tribun penonton.

Pada tragedi Kanjuruhan, kita dapat melihat tindakan tidak profesional polisi dalam menangani keributan di acara olahraga. Seperti yang telah diketahui bersama, FIFA telah melarang penggunaan gas air mata di dalam stadion, seperti yang tertuang pada FIFA Stadium Safety and Security Regulations. Pada pasal 19 tentang Pitchside stewards huruf b tertulis, "No firearms or 'crowd control gas' shall be carried or used," yang artinya dilarang menggunakan senjata api atau gas untuk mengontrol kerumunan. Pelanggaran ini terbukti harus dibayar mahal dengan korban 586 luka ringan, 50 orang luka sedang, 24 orang luka berat, serta 134 orang meninggal, dikutip dari Detik.

Adanya dua kasus tersebut membuktikan bahwa kepolisian saat ini sudah tidak cukup profesional. Mengapa? Sebab banyak tindakan mereka yang justru bertolak belakang dengan tugas dan fungsinya. Memang benar bahwa kejahatan yang dilakukan oleh siapapun dan dalam bentuk apapun, apalagi sampai merenggut nyawa orang lain, tidak dapat dibenarkan. Namun, kita tidak boleh lupa bahwa mereka adalah “orang-orang pilihan.”

Akhirnya, jika kedua kasus di atas semakin tidak jelas dan tidak menemui jalan keluar, lalu bagaimana dengan kepercayaan khalayak terhadap kepolisian? Penulis mengira bahwa citra dan reputasi kepolisian akan semakin menurun di mata masyarakat. Bahkan, akan lebih sial lagi jika masyarakat tak lagi menaruh hati kepada mereka. Jika demikian, lantas siapa yang akan jadi figur penegak hukum dan penjaga ketertiban? Akankah diganti oleh Pemuda Pancasila? Atau malah Kokam? Atau justru Banser? Kita lihat saja nanti.


1 comment:

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.