Nikmatnya Kopi dari Hargo Kiloso Ngebel
Kebun kopi di Dusun Hargo Kiloso |
Features oleh Syamsulhadi
Badanku terhempas
udara yang sangat sejuk, menerobos pori-pori seakan hinggap di setiap celah
kulitku. Kuhirup dalam-dalam dan kunikmati udara yang begitu segar, udara yang
sangat khas pegunungan, yang masih terjaga keautentikan alamnya. Motor yang
kunaiki bersama temanku semakin melaju kencang, kami melewati jalan yang
berliku dan tak jarang tikungan tajam membuat jantungku berdegub kencang. Di setiap
perjalanan, kupandang kanan dan kiri yang menampakkan pemandangan landscape bak
surga dunia. Kini aku bersama temanku, akan mengunjungi salah satu destinasi
wisata di Kabupaten Ponorogo yaitu Telaga Ngebel sekaligus berkunjung di Dusun
Hargo Kiloso Desa Kelun Kecamatan Ngebel. Letak lokasinya 8,7 km dari Telaga
Ngebel.
Sampailah di depan
gapura pintu masuk telaga, kami pun sejenak berhenti, berhadapan dengan penjaga
pintu masuk telaga. Mereka memegang Thermometer Digital Infrared yang
siap mengecek suhu tubuh kami dan pengunjung lainnya, karena masih dalam masa
Pandemi Covid-19,
sebagai antisipasi penularan. Setelah dicek suhu, kami membeli tiket
terlebih dahulu. Karena jumlah kami dua orang, maka kami membeli dua tiket
seharga 16 ribu, berarti harga tiketnya 8 ribu per orang.
Kami mulai
memasuki area telaga, telihat di depan mataku genangan air dengan ukuran yang
begitu lebar, airnya yang begitu jernih dikelilingi rumah singgah, mulai dari
penginapan, vila dan rumah penduduk sekitar. Kami pun mulai keliling di area
telaga, sambil melihat hiruk pikuk manusia. Ada yang duduk santai bersama
teman-temannya di pinggir telaga sambil menikmati suasana dan ditemani secangkir
kopi, ada juga sepasang kekasih yang mengumbar mesra dan menikmati suasana
dengan syahdunya.
Kami berhenti
sejenak, di sisi utara telaga, aku pun mengambil bekal roti yang kusimpan di
dalam jok motor. Kami duduk santai di pinggir telaga sambil melahap roti yang
aku bawa dari rumah tadi. Sambil menikmati suasana sejuk Telaga Ngebel dan
memanjakan mata dengan panorama indahnya. Setelah selang 20 menit istirahat, kami
pun bergegas melanjutkan perjalanan, menurut informasi yang aku dapat, ada
sebuah perkampungan yang potensial dengan tanaman kopinya. Maka dari itu kami
tertarik mengunjungi kampung tersebut.
Kali ini giliran
aku yang dibonceng temanku. Kami kembali melaju, menyusuri jalan yang semakin
berliku, tikungan tajam melebihi perjalanan saat berangkat dari kota tadi.
Sekitar 15 menit memasuki area yang jalannya lebih terjal dan sudah tidak
beraspal lagi, melainkan bebatuan disertai jalan menanjak dan tak sedikit jalan
yang berlumpur membuat motor kami sedikit kesulitan. Kulihat di sekeliling
sudah tidak nampak pemukiman warga, melainkan pepohonan pinus, karet dan
berbagai macam tumbuhan lainnya disertai tebing-tebing yang menjulang tinggi. Terdengar
kicauan burung dan suara derikan yang aku sendiri pun tak tahu itu suara apa.
Udaranya pun juga semakin dingin disertai kabut yang cukup tebal, aku menyadari
kini sudah tidak berada area perkampungan lagi tetapi berada di tengah hutan, membuatku
semakin antusias untuk menjelajahinya. Perjalanan sekitar 25 menit, terlihat
dari jauh mulai nampak kembali pemukiman warga, kami bergegas untuk
menghampiri. Memasuki perkampungan tersebut, kami bertemu salah seorang warga.
“Pak mau tanya, Kampung Kopi itu di sebelah mana ya?” Tanyaku.
“Ini sudah berada di Kampung Kopi mas,” jawabnya.
Tenyata kami sudah sampai di Kampung Kopi, kampung yang
sedang kucari. Kulihat rumah-rumanya tidak begitu padat, “Kampung yang jauh dari perkotaan,” dalam hatiku terucap.
“Masnya
sangking pundi (Masnya dari mana)?” tanyanya.
“Niki kulo mahasiswa pak, bade
pados informasi teng mriki (Ini saya mahaiswa pak, mau mencari informasi di sini),” jawab temanku dengan memakai Bahasa
Jawa.
“Owalah, coba
sampean teng nggene omah seng enten antena wifi ne niku, namine Pak Handoko
(Owalah, coba kamu pergi kerumah yang ada antenna wifinya itu, namanya pak
Handoko),” jawabnya sambil mengarahkan kami ke rumah Pak Handoko.
Kami pun bergegas menuju rumah yang ditunjukkan bapak
tadi. Rute rumahnya lebih menanjak dari tempat kami berbincang-bincang
dengan bapak itu. Akhirnya kami sampai di halaman rumah yang ditunjukkan. Nampak
dua ekor anjing yang sedang santai di depan rumah, sorot matanya tertuju kepada
kami. Seakan-akan ia bertanya siapa kami.
Setelah tiba di sana
kuberanikan untuk menemui pemilik rumah tersebut. Kuketuk pintu rumahnya, kuucapkan
salam dan permisi. Kemudian datang seseorang dari arah samping kiri rumah. Kulihat
penampilannya seperti orang yang habis bekerja, keringat sudah membasahi
sekujur tubuhnya, terlihat tanah-tanah masih menempel di celana dan sikunya. “Monggo mas mlebet (Silakan masuk mas),”
ucapanya dalam Bahasa Jawa, setelah membukakan pintu. Kami pun dipersilakan
duduk, di atas sofa yang empuk. Kurasakan suasana rumah itu, cukuplah nyaman,
terlihat juga Coffee Grinder atau alat penggiling biji kopi, dan bekas
gilingan biji kopinya pun juga masih terlihat.
Selang beberapa
menit kami disuguhi dua cangkir kopi. Kopi tersebut merupakan hasil panen dari kebun
sendiri. Kami pun menikmati kopi tersebut, dan rasanya begitu khas dan nikmat.
Sambil bercengkrama, kami ditanya ada hajat apa mengunjungi rumahnya. Temanku
menjawab bahwa ingin bertemu dengan Pak Handoko, ingin silaturahmi sekaligus
mau tahu informasi lebih jauh mengenai kampung ini. “Mas Handoko nya lagi keluar mas, mungkin lagi mencari rumput, untuk
pakan kambing,” jawabnya memberitahu kami.
Ternyata ia adalah
adik dari Pak Handoko yang bernama Duta, kami pun berbincang-bincang sembari
menunggu Pak Handoko nya pulang. Keseharian Duta ialah merawat kebun yang
dimilikinya, yaitu kebun kopi. Tak lama kemudian ada suara motor dari luar,
nampak seseorang berawakan kekar, berkulit coklat dan mempunyai rambut
gondrong, ternyata ia adalah Pak Handoko yang ingin kami jumpai.
Melihat kedatangan
Pak Handoko kami bergegas menyapa dan berjabat tangan dengannya. Pak Handoko
merupakan ketua kelompok tani di Dusun Hargo Kiloso Desa Kelun Kecamatan Ngebel
Kabupaten Ponorogo. Kami pun berbincang-bincang perihal kondisi ekonomi di
perkampungan ini.
Mayoritas
pendapatan ekonomi di perkampungan ini ialah bercocok tanam, mulai dari tanaman
lemon, durian, coklat hingga kopi. Yang menjadi ciri khas perkampungan ini ialah
kebun kopinya, oleh karena itu daerah ini dijuluki dengan Kampung Kopi. Pak
Handoko mengatakan awal mula ramainya kampung ini dikenal warga luar ketika
awal tahun 2018. Ia bersama komunitas kopi yang anggotanya berasal dari luar,
mulai dari Madiun, Pacitan, Semarang bahkan sampai Yogyakarta mengadakan
kegiatan kumpul bersama di Dusun Hargo Kiloso. Kegiatannya memetik kopi pada
siang harinya. Malamnya berkumpul santai ngopi bareng. “Mulai rame-ramenya desa ini itu pada
awal 2018 mas, waktu itu saya dan komunitas saya, yaitu komunitas kopi
mengadakan acara kumpul-kumpul. Mulai dari siang manen kopi sampai malam acara
ngopi, kumpul santai bersama warga, maka sekalian saya bentuk kelompok tani,”
ujar Pak Handoko kepada kami.
Jenis kopi yang
diproduksi ada dua jenis yaitu Arabika dan Robusta, harga jualnya pun variatif,
tergantung prosesnya. Fullwash perkilonya Rp85.000, Honey Rp95.000,
Natural Rp 110.000, Wet Rp 200.000. Pak Handoko juga sedikit
menyentil tentang pemerintah, khusunya Dinas Pertanian, yang sama sekali tidak
pernah memberikan bantuan apapun. Pernah ia sesekali diberikan janji bahwa akan
diberi bantuan, kemudian Handoko sebagai ketua kelompok tani mengumpulkan warga
sekitar, ternyata sudah beberapa lama bantuan itu dinanti tetapi tidak kunjung
datang. “Pemerintah itu mas,
khusunya dari pihak Dinas Pertanian tidak pernah memberikan bantuan apapun,
kalau pun ke sini cuma melihat-lihat doang, mungkin cuma pencitraan kali ya.
Pernah dijanjikan katanya mau diberi bantuan berupa barang, pupuk lah, kemudian
saya sebagai ketua kelompok tani mengumpulkan masyarakat. Sudah ditunggu
beberapa lama bantuannya tidak datang, sampai saat ini. Jadi kesannya PHP lah,”
celetusnya sembari menghisap rokok.
Jadi selama ini masyarakat tidak menggunakan pupuk kimia
apalagi pupuk bantuan dari pemerintah. Masyarakat sekitar menggunakan pupuk buatan
mereka sendiri, yaitu dari fermentasi kotoran maupun dari bahan organik. Kalau
pun suatu saat pemerintah memberikan pupuk kimia ia tidak akan mau menerimanya.
Menurut Pak Handoko menggunakan pupuk fermentasi lebih baik daripada
menggunakan pupuk kimia, khususnya pada tanaman kopi. “Seandainya mas, pemerintah mau memberikan distribusi pupuk, kami para
petani sudah tidak mau. Selain kapok karena sudah di PHP, menurut saran dari
temen-temen komunitas kopi, kalau bisa, tanaman biji kopi itu jangan sampai
menggunakan pupuk kimia, karena sangat mengurangi kualitas, harga bisa-bisa
menurun,” tutur Pak Handoko.
Aku pribadi sebagai pengunjung juga merasa prihatin mendengar
cerita Pak Handoko. Dari cerita tersebut, bisa disimpulkan bahwa pemerintah
abai dengan potensi desa, tetapi di sisi lain aku kagum dengan kemandirian desa
ini. Memanfaatkan tanahnya untuk kebutuhan pokoknya, dan penghasilannya pun
tidak kalah dengan masyarakat yang notabenenya hidup di daerah perkotaan. “Walaupun
pemerintah tidak ikut andil, kami sebagai petani merasa bangga mas, bisa
mandiri tanpa mereka dan memanfaatkan sumberdaya yang ada,” ungkapnya dengan penuh percaya
diri.
Tidak terasa dua jam kami berbicang-bincang, waktu sudah
menunjukkan pukul 14.00 WIB. Sebelum pamit, sejenak aku mengunjungi kebun-kebun
di sekitar rumah Pak Handoko. Aku lihat tanamannya begitu subur, mulai dari
lemon, coklat, dan kopi serta masih banyak tanaman yang lainnya. Kemudian aku
pun kembali menghampiri Pak Handoko untuk berpamitan.
“Pak matur suwun njeh, kulo bade pamit riyen (Pak terimakasih ya, saya
mau pamit dulu),” kataku, sambil menjabat tangannya.
“Njeh Mas, sami-sami, mangke dolan mriki maleh nggeh mboten nopo-nopo
(Iya mas, sama-sama, nanti main ke sini lagi juga tidak apa-apa),” sahutnya.
Kami berdua
bergegas menaiki motor. Seperti halnya berangkat tadi, temanku yang mengendarai
motor dan aku yang diboncengnya. Di tengah perjalanan pulang aku pun bicara
dalam hati. “Mengingat daerah mereka yang jauh dari perkotaan dan aksesnya
yang begitu sulit serta sangat minimnya perhatian dari pemerintah, semoga hidup
mereka dimudahkan oleh Tuhan yang maha esa.”
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.