Iklan Layanan

Cuplikan

Aku yang Kudet atau Memang Mereka Gak Pernah Update?


pngimage.net
Oleh: Dian Agustini

Aku duduk termenung sendiri di teras masjid kampusku. Saat itu aku masih enggan pulang setelah kuliah tadi. Terlihat seseorang yang sangat kukenal melambaikan tangannya dari jauh dan berjalan menghampiriku.

“Belum pulang, Nin?” tanya Nana ketika berada tepat di depanku.

“Belum nih, Na. Masih panas banget. Nunggu sekalian agak sore.  Di kontrakan juga gak ngapa-ngapain,” balasku sambil mempersilakannya duduk.

“Bilang aja mumpung ada wifi gratis,” ejeknya seraya duduk di sebelahku.

“Itu juga sih, hehehe. Kamu juga kok belum pulang. Kan kita udah gak ada kuliah lagi.”

Nana merupakan teman sekelasku. Yang kutahu, ia enggan berlama-lama di kampus. Setelah kuliah selesai, ia biasanya akan langsung pulang. Jika ada tugas pun ia lebih memilih mengerjakan di rumah, tidak seperti teman lain yang mengerjakan di kampus karena ada wifi. “Daripada capek-capek di kampus mending di rumah bisa rebahan,” katanya, setelah ada salah seorang temanku bertanya kenapa ia senang cepat-cepat pulang.

“Males sih sebenarnya. Tapi aku lagi nunggu Kak Fuad yang lagi ada rapat sama pengurus UKM-nya. Soalnya dia lagi bawa motor gede, jadi aku gak bisa pulang dulu,” jelasnya panjang lebar.

Cukup lama kami berbincang mengenai banyak hal, sampai seseorang menghampiri kami dan ikut duduk bersama kami. Dia Mbak Zeni, kakak tingkat jurusanku dan Nana.

“Belum pulang, Dek?” tanya Mbak Zeni sembari tangannya mengeluarkan ponsel dari saku jasnya.

“Belum, Mbak. Hehe.” Nana menjawab pertanyaan dari Mbak Zeni, sedangkan aku hanya senyum menanggapinya karena jawabanku sudah terwakili oleh jawaban Nana.

“Nunggu siapa?”

“Kalau aku gak nungguin siapa-siapa sih, Mbak. Kalau Nana nunggu Kak Fuad lagi kumpul sama pengurus UKM-nya.” Kali ini aku yang menanggapi pertanyaan Mbak Zeni.

“Fuad? Fuad jurusan Tadris IPA itu?”

“Iya, Mbak. Itu kakakku, hehe,” jawab Nana sambil nyengir.

“Oh, ya, minggu lalu dia hadir nggak di sidang paripurna yang diadakan SEMA?”

“Gak tau, Mbak. Tapi kayaknya gak ikut, soalnya ada acara sama pengurus UKM nya.”

“Memangnya sidang paripurnanya kapan, Mbak?” tanyaku mulai tertarik dengan topik pembicaraan yang dimulai Mbak Zeni ini.

“Minggu lalu, Dek. Ini juga katanya dibarengkan dengan sosialisasi produk hukum.”

Aku manggut-manggut menanggapi jawaban Mbak Zeni. Sebenarnya masih ada yang ingin kutanyakan, tapi Mbak Zeni sudah berpamitan dan bergegas pulang. Kini tinggal aku dan Nana kembali hanya berdua.

“Kamu paham tentang sidang-sidang itu, Nin?” tanya Nana saat Mbak Zeni benar-benar sudah tak terlihat.

“Enggak sih. Makanya aku tadi tanya Mbak Zeni. Mau tanya lagi, eh orangnya malah pergi,” sesalku.

“Eh, itu Kak Fuad.” Nana berseru pelan seraya melambaikan tangan ke arah kakaknya yang berjalan santai ke arah kami. Kak Fuad tidak sendiri, terlihat di sampingnya ada Mbak Ulfa.

“Duduk dulu di sini, ya, Dek. Gerah tadi di BEM, sumpek,” kata Kak Fuad saat ia sudah duduk di samping Nana, diikuti Mbak Ulfa. Kak Fuad mengibaskan tangannya khas orang kepanasan. Padahal, di sini udaranya gak terlalu panas, apalagi banyak pohon di sekitar.

Nana mengangguk pertanda setuju.

“Kak, minggu lalu habis ada sidang paripurna, ya? Kakak hadir gak?” tanyaku pada Kak Fuad masih penasaran perbincanganku bersama Mbak Zeni tadi.

“Iya, Dek. Tapi aku gak hadir. Cuma ada satu orang perwakilan dari UKM-ku, soalnya pas hari itu lagi ada acara sendiri.”

“Katanya sidangnya dibarengkan sosialisasi produk hukum, Kak?”

“Iya, Dek. Katanya biar bisa langsung diterapkan di lembaga-lembaga. Itu Mbak Ulfa ikut soialisasi produk hukumnya.” Kak Fuad menunjuk Mbak Ulfa yang sibuk berkutat pada ponselnya.

“Produk hukumnya itu gimana sih? Aku kok nggak paham,” celetuk Nana tiba-tiba, sekaligus mewakili pertanyaan yang sejak tadi terngiang.

“Kalau minggu lalu sih yang dibahas tentang ADRT dan produk hukum. Tapi kalau dipikir-pikir, dari hasil sidang gak ada perubahan produk hukum. Kita Cuma terima jadi aja.” Mbak Ulfa menanggapi dengan penjelasan yang cukup panjang.

Aku diam memahami, sedangkan Nana kembali berceletuk, “Ya Allah, ini emang aku yang kebangetan jadi mahasiswi kupu-kupu atau gimana sih? Aku kok gak tahu sama sekali mengenai produk hukum itu, apalagi sosialisasi setelah sidang itu.”

Lagi-lagi Nana mewakili unek-unekku. Aku sama sekali tidak mengetahui tentang sosialisasi produk hukum yang diadakan SEMA ini. Sama seperti Nana, aku bukan mahasiswi yang aktif di organisasi. Bedanya aku lebih suka mencari informasi yang ada di kampusku melalui mading dan pamflet. Namun, tidak pula aku menemukan informasi mengenai sosialisasi produk hukum ini. Bahkan di era modern yang mereka katakana canggih, informasi yang biasa tersebar melalui akun Instagram, story WhatsApp, Facebook, dan lain sebagainya pun sama sekali tak aku dapatkan.

“Memangnya yang ikut sosialisasi produk hukum itu siapa aja sih, Mbak? Kok diem-dieman kayak nikah siri aja,” tanyaku sedikit kesal.

“Ya, kalau yang hadir sih perwakilan dari HMJ, DEMA, SEMA, dan delegasi dari UKM.”

“Berarti mahasiswa umum gak ada, Mbak?” tanyaku lagi.

“Gak ada, Dek.”

“Berarti mahasiswa umum gak wajib tahu tentang produk hukumnya dong?” tanya Nana.

“Harusnya ya tahu, kan produk hukum dibuat untuk kita semua. Jadi, perwakilan lembaga yang mengumumkan produk hukum ke anggotanya.” Kak Fuad kembali menanggapi.

“Apalah daya aku yang cuma mahasiswi umum?” keluh Nana penuh drama.

Aku, Kak Fuad, dan Mbak Ulfa hanya tertawa. Tapi, bila dipikir ada benarnya. Lantas bagaimana nasib mahasiswa yang tida terlalu aktif di organisasi? Ini aku yang kudet, atau memang mereka yang gak pernah update?

No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.