Iklan Layanan

Cuplikan

Seandainya Saya Seorang Rektor

(Ilustrasi: Duta/MediaIndonesia)

Opini: Munir

Menjelang peringatan Hari Pendidikan pada 2 Mei 2024 lalu, banyak media yang memberitakan sebuah pelanggaran akademik berupa plagiarisme karya ilmiah yang dilakukan oleh seorang Dekan FEB UNAS, membuat tubuh saya gemetar. Sebegitu burukkah kualitas pendidikan hari ini di Indonesia? Dosen-dosen berlomba menulis karya ilmiah tanpa memperhitungkan sebuah kualitas demi meraih gelar hingga posisi strategis di kampus. Lebih sedihnya, kasus plagiarisme masih bermunculan hingga hari ini.

Seandainya saya seorang rektor tentu sebagai pimpinan akan menjadi tempat melayangkan segala pertanyaan dan caci maki ketika ada salah satu dosen di kampus saya melakukan pelanggaran akademik berupa plagiarisme. Tentulah hal ini akan menimbulkan efek turunnya kepercayaan masyarakat kepada akademik secara pelan tapi pasti. Namun, saya tidak bisa membayangkan apa hukuman yang saya terima ketika ketahuan plagiarisme. Ya, memang tampak nikmat ketika kita punya tulisan atau hasil penelitian tanpa susah payah untuk riset dan menulis.

Agaknya hari pendidikan tak lebih jadi momen paling tepat untuk muhasabah; meraba ulang apa yang telah saya perbuat untuk pendidikan hari ini. Seandainya saya seorang rektor, tentu harusnya terlebih dulu saya sadar bahwa apa yang sedang diemban bukanlah sekadar nasib kampus ini saja, melainkan masa depan Indonesia. Sebab pendidikan adalah kunci sehingga bagaimana pun keadaannya, pendidikan haruslah tetap berjalan dan ditingkatkan, bagi siapa pun.

Berkali-kali saya jatuh-bangun memahami apa yang sedang terjadi pada akhir-akhir ini di dunia, terutama di Indonesia. Mulai pendidikan yang carut-marut, hilangnya demokrasi dalam negeri, krisis iklim, bonus demografi yang tidak lebih dari sekadar bualan, hingga kondisi kesehatan dan mental yang sedang tidak baik-baik saja. Namun, seandainya saya seorang rektor, pendidikanlah yang jadi fokus utama.

Pendidikan adalah Hak Semua Bangsa

(1)   Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dan pemerintah wajib membiayainya.

Begitulah bunyi Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31. Garis besarnya, pendidikan merupakan hak segala bangsa. Pertanyaanya, dalam kehidupan nyata, apakah benar begitu keadaannya?

Seringkali saya menemui beberapa remaja, bahkan anak kecil, di pinggir jalan sedang sibuk membanting tulang untuk memenuhi hak lambung. Saya yakin sebenarnya dia tidak rela jika harus meninggalkan bangku sekolah. Namun apalah daya, untuk sekadar makan, mereka cukup kesulitan. Lantas ke mana negara? Entahlah. Tiba-tiba saya ingat sebait puisi yang ditulis penyair Gilang Perdana yang berjudul Revisi. Begini bunyinya:

fakir miskin, dan/

anak-anak terlantar/

dipelihara oleh kitabisa.

Pendidikan seperti yang diungkapkan Roy Martin Simamora di Kompas.id, berdiri sebagai landasan peradaban, sebuah cahaya yang memandu manusia menuju pencerahan dan kemajuan. Pendidikan bukan sekadar perolehan pengetahuan atau pencapaian kualifikasi belaka, pendidikan adalah seni menghargai kehidupan itu sendiri. Ia adalah perjalanan panjang yang mencakup nilai-nilai, kecerdasan, toleransi, penyelidikan, dan kontribusi sosial.

Bagaimana mungkin bisa biaya pendidikan hari ini semakin tinggi, sedangkan pendidikan merupakan hak segala bangsa? Barangkali pendidikan telah beralih fungsi, sehingga membuat esensi dari pendidikan itu mulai terkikis. Pendidikan tak lebih dari ladang-ladang subur untuk menanam bisnis, didukung dengan peralihan status menjadi PTN-BH untuk kalangan perguruan tinggi. Kemudian disusul dengan membuka prodi-prodi baru yang laku dalam dunia pekerjaan. Ya, meski tidak bisa menjamin bakal mengantar para sarjana muda sampai ke sana.

Seandainya saya seorang rektor, pastilah ini menjadi posisi yang sulit untuk saya menentukan sebuah keputusan. Segala ruang bersifat paradoks. Rektor mana yang tidak ingin kampus yang dipimpinnya memiliki akreditasi yang unggul? Di lain sisi, akreditasi secara tidak langsung memaksa kampus untuk beralih fungsi seperti ‘pasar’, menyamakan harga dan produk yang ada di dalamnya dengan kampus lain. Kemudian mengenai biaya pendidikan semakin tinggi, tentu jadi masalah buat mereka yang kurang mampu.

Kiranya, biaya pendidikan semakin tinggi tak terlampau menjadi masalah asal dengan pertimbangan yang seimbang, seperti adanya gedung dan fasilitas yang berkualitas, perpustakaan dengan buku yang melimpah, hingga tersedianya alat riset yang mendukung. Namun inilah manusia, selalu suka dan menyukai hal yang bersifat berlebihan, sehingga dalam dunia kampus, pendidikan selalu dikesampingkan. Banyak birokrat yang mendahulukan kepentingan pribadi dengan cara mencari keuntungan dalam bentuk apapun, seperti menjual buku yang ia tulis kepada mahasiswa dengan dalih bahan ajar perkuliahan, atau memaksa mahasiswa untuk riset lalu menitipkan namanya agar kewajibannya yang diatur dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi menjadi beres. Beres, tapi miris juga.

Namun, seandainya saya seorang rektor, pastilah akan berusaha menerapkan biaya pendidikan yang murah, kalau bisa, malah gratis. Kan negeri ini (katanya) kaya dari segi sumber daya alamnya, apalagi didukung pajak semakin meninggi, pasti mampu, dong! Pasalnya saya sedih melihat beasiswa dari lembaga manapun yang sering tidak tepat sasaran, juga pengategorian Uang Kuliah Tunggal yang tidak sesuai dengan pendapatan orang tua. Lihat saja audiensi mahasiswa UNSOED dengan rektornya. Ada calon mahasiswi yang diterima dari jalur SNBP 2024 dengan UKT golongan 4, yaitu Rp 8 juta per semester. Padahal pendapatan orang tuanya, yang mempunyai profesi sebagai guru dan pedagang, dalam sebulan adalah Rp 1,8 juta. Miris.

Peran Ilmu Pengetahuan

Seandainya saya seorang rektor, sebagaimana yang diungkapkan Ahmad Najib Burhani dengan mengutip Heru Nugroho, infertilitas pemikiran-pemikiran besar dan involusi intelektual yang mempunyai dampak mendahulukan uang dibandingkan kualitas pendidikan inilah yang akan saya selesaikan terlebih dulu. Sebab sekecil apapun bentuknya industrialisasi pendidikan, bukanlah hal yang patut dibenarkan.

Prof. Tjan Tjoe Som seorang Guru Besar di Universitas Indonesia dalam kuliah umum tanggal 5 Desember 1958, menyampaikan bahwa salah satu barang yang bagi penghidupan manusia tidak dapat disangkal adalah ilmu pengetahuan. Pada zaman ini, manusia tidak mungkin menyelesaikan soal-soal yang dihadapinya tanpa ilmu pengetahuan. Maka di tiap-tiap negeri, ilmu pengetahuan diajarkan di sekolah-sekolah, mulai dari sekolah rendah yang memberikan dasar-dasarnya hingga universitas yang mengadakan penyelidikan/penelitian ilmiah.

Bayangkan saja ketika kenaikan biaya pendidikan terus berlanjut, bagaimana nasib pendidikan? Kiranya negara perlu mengatur ulang terkait kebijakan PTN-BH, agar industrialisasi pendidikan tidak semakin marak, lebih bagus jika bisa diberhentikan sekalian. Sebab diakui atau tidak, ilmu pengetahuan turut berperan dalam jalannya demokrasi dalam sebuah negara. Tentu kita masih ingat apa yang terjadi beberapa bulan kemarin, ketika banyak universitas yang menyatakan sikap terhadap kondisi demokrasi hari ini. Pertanyaannya, apakah negara mendengarkan mereka? Agaknya tidak.

Negara sudah terlampau senang atas keuntungan yang didapatkan dari PTN-BH, sehingga negara menganggap bahwa industrialisasi pendidikan merupakan cara yang tepat untuk mendapatkan sebuah keuntungan. Sedihnya, negara tidak lagi menghargai para pakar di negeri ini. Lihat, apa yang dilakukan seorang Guru Besar dalam acara debat Capres-Cawapres? Hanya disuruh untuk mengambil nomor undian pertanyaan. Sekali lagi, hanya disuruh mengambil nomor undian pertanyaan, yang bahkan bisa dilakukan oleh anak SD!

Seandainya saya seorang rektor, pastilah kebijakan industrialisasi pendidikan atau apalah namanya, akan saya tentang seperti yang dilakukan oleh Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswa-nya ketika melawan Ordonansi Sekolah Liar. Semuanya demi ilmu pengetahuan. Betapa tidak, pendidikan negeri ini telah ketinggalan jauh. Bagaimana bisa begitu tega, malah menjadikannya alat bisnis dengan memakai kebijakan berorientasikan pasar? Jelas pemerintah yang tidak berilmu pengetahuan yang terus melanggengkan praktik industrialisasi pendidikan.

Berdasarkan QS World University Rankings 2024, University Malaya menempati posisi ke-65 universitas terbaik di dunia, sedangkan Universitas di Indonesia menempati posisi ke-237. Padahal pada masanya, Indonesia sempat menjadi guru bagi Malaysia, tapi sekarang posisinya terbalik. Seandainya saya seorang rektor, tentulah rasa malu ini tidak bisa ditutupi. Saya berharap ke depannya, segala masalah di dalam dunia pendidikan serius ditangani, terlebih oleh pemerintah tanpa harus cangkeman sana-sini dan membuat jargon-jargon baru seperti Indonesia Emas 2045 dengan bonus Demografi yang nyatanya tak lebih dari sekadar igauan semata!

No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.