Iklan Layanan

Cuplikan

Laki-laki yang Merawat Kehilangan


         
wokeeh.com

Cerpen oleh Airyn
             Sudah cukup lama rumahnya memelihara sepi. Tak terdengar lagi gemerisik  anak kecil yang merengek minta dibelikan mainan, yang menangis karena jatuh di jalanan, atau yang tertawa karena menonton serial kartun di televisi. Semakin hari, hidupnya semakin kosong. Ia dan anaknya diam-diam memudar dari ingatan istrinya. Pelan-pelan kematian datang padanya. Mengikis jiwanya seperti ombak yang menerjang karang di lautan.
         Tidak seorang pun di dapur pagi ini, meskipun pagi telah mengirim mentari. Ia harus menyalakan tungku dan menanak nasi. Meski ia tidak lapar, ia harus memastikan istrinya makan dengan teratur. Ia tidak pandai memasak, lagi pula bahan makanan di pasar kian mahal harganya. Tentu ia harus membayar asap dapur, membayar tagihan listrik, dan membeli keperluan rumah tangga. Yang berbeda kali ini hanyalah tak perlu lagi khawatir kedatangan tagihan SPP.
            Setelah mengenakan pakaiannya yang lusuh sebab terbakar matahari, ia pamit pada istrinya. Dilihatnya perempuan itu tengah duduk di samping jendela. Menatap langit yang masih biru, awan yang masih putih, dan pohon-pohon yang semakin gugur. Mungkin pohon-pohon itu kelelahan melawan terik matahari, tak bisa bertopang pada tanah yang tak lagi ranum. Air sungai berubah keruh, kesulitan menjaga napas ikan di dalamnya. Tetapi kemana lagi ikan-ikan itu harus berpindah rumah.
            “Aku berangkat ke sawah” Ucapnya pada sang istri yang hanya dibalas dengan keacuhan.
            Sama sekali tak menatap ke arahnya, senyum perempuan itu mekar pada langit di atas sana. Tak apa jika istrinya tak mau tersenyum lagi padanya dan memilih sibuk dengan alam semesta. Ia bisa melihat senyum istrinya dalam ingatan. Ia menyimpan semua kenangan dengan rapi dalam ruang kepalanya.
            Tanpa beralaskan sandal, dengan kaki telanjang ia pergi menyusuri jalan penuh debu. Sembari menyusun langkah, ia melihat orang-orang bekerja. Warung makan dibuka pintunya oleh para pelanggan, petani mengunjungi sawah dengan bekal cangkul dan sebungkus rokok, pedagang membeli barang-barang yang bisa dijual kembali. Orang-orang itu tampak baik-baik saja. Bercakap-cakap saat bertemu, tersenyum tiap kali bertukar sapa. Mereka tampak baik-baik saja.
           Ia berjalan pelan  dalam guyuran sinar matahari yang kian terik. Terdengar sisa tawa orang-orang di warung kopi.
“Sudah ku bilang, Real Madrid pasti kalah melawan Manchester United” Kata salah seorang di antara mereka sebelum menyeruput kopi hitam di meja kayu.
Ia masih mendengarkan suara-suara di belakangnya, meski langkah kakinya hampir sampai di kejauhan. Di depannya, sebuah gedung sekolah menjulang tak terlalu tinggi. Bangunan itu hanya terdiri dari 1 lantai, tidak bertingkat. Dinding sekolah bercat putih dan berhalaman tanah mentah. Bel tanda istirahat berbunyi tiga kali dengan lantang, seketika anak-anak berhamburan keluar kelas. Seolah menyuarakan kemenangan, mereka meyerbu kantin untuk makan snack yang kebanyakan bertabur MSG dan gula buatan. Yang lainnya mengambil bola plastik dari gudang dan membuang keringat di lapangan.
Setelah selesai melihat tawa anak-anak di sekolah, ia beralih ke belakang gedung sekolah. Menuju tempat dimana mimpi buruk dimulai. Lubang bekas tambang batu bara itu menganga lebar. Ceruknya yang dalam terendam air dingin. Genangan itulah yang membawa anaknya menuju kematian. Dari jauh, ia bisa melihat beberapa anak berkumpul dekat lubang. Ia tahu, cepat atau lambat, anak-anak itu pasti menceburkan dirinya kesana, tanpa tahu malaikat maut sedang menunggu di kedalaman. 
Melihat seorang laki-laki mendekati mereka, anak-anak berdiam diri. Menahan ketakutan akan dimarahi olehnya. Tetapi dalam hati, mereka menggerutu. Orang tua selalu saja membatasi kebebasan dan kesenangan. Lihat saja, air lubang itu tampak amat menyegarkan, siapa yang bisa menolak berenang disana. Menyenangkan sekali. Orang tua selalu saja mengkhawatirkan banyak hal. 
Ia berjalan cepat menuju anak-anak yang menampakkan wajah tegang. Mereka tidak boleh mati. Hidup mereka masih sangat panjang, mereka harus pergi ke sekolah, masuk kerja, dan menikah suatu saat nanti. Mereka juga memiliki orang tua yang amat menyayangi semenjak dilahirkan hingga sebesar ini. Orang tua mereka tidak boleh menangis sepanjang malam mengenang kematian anak mereka. Tidak boleh.
“Anak-anak, kembalilah ke sekolah” Ucapnya pada anak-anak itu.
Tanpa membantah sedikitpun, mereka menuruti perkataan orang di depan mereka. Setelah berjalan cukup jauh, mereka berbisik-bisik.
“Nanti pulang sekolah kita kesana lagi” Usul anak berambut ikal.
“Kita harus memastikan dulu, tidak ada orang di sekitar sana” Sahut yang lain.
“Benar, sekarang kita beli es saja. Panas sekali, aku haus”
Dilihatnya anak-anak itu menghilang di balik gedung sekolah. Ia pun melanjutkan perjalanannya menuju sawah. Angin mengalir bersama panasnya udara siang itu, mendekati tengah hari. Tak ada lagi capung yang berterbangan menemani langkahnya. Sawah itu kini berselimut lumpur. Jari-jarinya yang kasar sebagai petani disuruh bekerja lebih sering. Sebab lumpur, padi semakin layu, tak segagah dulu. Ia mesti mencabut padi-padi yang hendak mati sebelum panen tiba.
Air mata dan keringat yang kian deras ini bermula dari masuknya perusahaan batu bara di desanya. Bumi yang hijau permai, tenang dan damai, hendak diganggu dengan penggalian tanah juga gemuruh suara alat berat. Tak ada yang ingin kebahagiaan masyarakat desa dirusak oleh orang asing. Yang pertama kali dilakukannya bersama masyarakat adalah melawan. Dengan raga dan kata-kata.
Perjuangan tak bertahan lama, pendatang itu menghadiahinya dengan sepaket luka. Ia dimasukkan ke dalam bui dengan alasan yang tak ia pahami. Tanpa ia mengerti bagaimana skenario drama hukum, ia harus meninggalkan rumahnya selama 90 hari dan bernaung di balik jeruji besi. Begitu ia bebas dari hukuman, kabar duka segera menyambut kepulangannya. Anaknya mati tenggelam di lubang bekas tambang dan istrinya kehilangan kewarasan.



  (Ternspirasi oleh film dokumener “Sexy Killers” karya Dhandy Dwi Laksono)

No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.