Iklan Layanan

Cuplikan

Ajang Perkenalan Kesenioritasan

(Ilustrasi: suaramahasiswa.info)

Cerpen oleh: Denies

Tik-tok-tik-tok!

Bunyi suara jam dinding membantu dendangan si pemilik rumah. Pula, jeritan-jeritan suara jangkrik dan hewan lainnya. Itulah suasana rumah jika bertempat di sebelah sawah yang bertanduran pari.

Menjadi mahasiswa dengan latar belakang keluarga petani, tentu menjadi suatu kebanggaan bagi Raden. Dengan wajah sumringah ia memoleskan pomade ke rambut hitam legamnya, agar terlihat klimis dan rapi. Tak lupa ia melihat dengan teliti peraturan penggunaan baju yang terpampang di ponsel pintarnya. 

“Baju sudah, kopiah sudah, celana sudah, sepatu sudah, name tag juga sudah. Lalu, ikat pinggang…?” Ia melihat sekitar kamarnya, mencari benda panjang berwarna hitam itu. 

Tak kunjung menemukan benda yang ia cari. Akhirnya ia mengeluarkan jurus kebiasaannya. “Mbok, tau ikat pinggangku, ndak?” tanya Raden kepada si Mbok sambil berteriak.

“Lohh, ada apa tho, Le?” tanya si Mbok sambil tergopoh-gopoh menghampiri cucunya itu.

Raden melihat si Mbok dengan wajah panik. “Tau ikat pinggangku, ndak, Mbok? Aku cari-cari dari tadi lho, ndak ketemu-ketemu.” 

Si Mbok yang sudah setengah pikun juga ikut kebingungan. “Lha, yo ndak tau. Mbok juga lupa lho, Le.”

Raden semakin panik dan si Mbok juga semakin bingung. Si Mbok lalu pergi dari kamar Raden, ia muncul dengan membawa seutas tali berwarna kuning cerah.

“Ini. Pake ini aja, Le. Ketimbang terlambat masuk,” ujar Si Mbok sambil menyerahkan seutas tali kuning itu.

Tanpa berpikir panjang, Raden memakai tali yang diberikan si Mbok di pinggangnya. Yang penting ia sudah mematuhi aturan yang diberikan oleh panitia orientasi. Raden juga percaya bahwa panitia akan memaklumi dia.

Berpacu dengan waktu, ia mulai menarik gas motornya dengan kecepatan maksimal. Walaupun, motor tuanya itu sudah terbatuk-batuk, ia tetap memaksa agar tidak terlambat mengikuti acara. Beruntungnya, di pagi buta itu tidak banyak kendaraan yang berlalu lalang.

Selang beberapa menit ia sudah sampai di parkiran kampus hijau ternama di kotanya itu. Kakinya terus melangkah dengan cepat menghampiri suara orang yang bersorak ramai. Baru saja akan melangkahkan kaki menuju barisan kelompoknya, ia dicegat oleh panitia berjas hijau, sesuai dengan warna kampusnya.

“Pagi, Kak. Saya dari kelompok 21. Kelompok saya yang mana, ya, Kak?” tanyanya dengan napas tak beraturan dan bersimbah keringat.

Panitia yang ada di depannya mengerutkan kening, salah satu alisnya turut terangkat. “Minta maaf dulu. Baru saya carikan kelompokmu,” tegas panitia itu.

Raden tersenyum kikuk, memang benar ia terlambat datang. Tapi, ini baru lima menit ia terlambat. Ia juga sempat melihat panitia yang datang bersamaan dengan dia, lalu kenapa hanya dia yang disuruh meminta maaf?

“Malah diem?!” bentak panitia itu. 

“Eh, maaf, Kak.” Manut, itu yang Raden lakukan.

Panitia itu tak membalas permintaan maaf Raden. Sebagai balasannya, ia hanya tersenyum sinis. Tangannya kemudian terayun membuat isyarat agar Raden mengikutinya.

Raden masih tetap manut. Ia mengikuti arahan dari si Panitia itu tanpa tahu apa yang akan terjadi. Lalu, ia disuruh untuk baris yang berbeda dari kelompok lain. Ia masih berpikiran positif, bahwa itu kelompoknya.

Lalu, ia berbisik kepada orang sebelahnya. “Kelompok 21, Mbak?” tanyanya.

Orang yang ada di sebelah Raden kebingungan. Lalu, menggelengkan kepala sebagai balasan.

“Heh, kamu yang pake ikat pinggang kuning! Jangan berisik!” Bentak salah satu panitia dengan suara tinggi.

Ia tiba-tiba ditarik paksa untuk mengikuti kedua panitia lainnya. Berpisah dengan barisan kelompok yang bukan kelompoknya. Lalu, ia sudah berdiri di hadapan seluruh peserta dari berbagai jurusan dan panitia acara tersebut.

“Halo, adek-adek semuanya!” Sapa salah satu panitia yang ada di sebelahnya. 

Raden membatin, ‘Adek?’ 

“Sungguh pagi yang cerah, kita masih bisa berkumpul di sini. Nah, untuk mengawali pagi yang cerah ini, saya ingin menunjukan kepada kalian apa arti disiplin itu,” tambahnya.

Panitia itu melirik Raden dengan senyum mengejek. “Pertama, atribut dan pakaian dari teman kalian semua ini. Kalian bisa melihat apa yang ia pakai. Tali rafia berwarna kuning. Itu menyalahkan aturan pemakaian atribut dan baju kalian, bukan?” 

Raden tak terima dengan pernyataan panitia itu. “Definisi ikat pinggang itu apa, Kak? Bukannya barang yang bisa diikatkan di pinggang? Lalu, salahnya di mana?” teriaknya.

Jawaban Raden itu menjadi bahan tertawaan para manusia berjas hijau itu. Lalu, diikuti oleh barisan baju berwarna putih yang senada dengan warna bajunya.

Tanpa mengindahkan jawaban Raden, panitia itu mengatakan. “Kedua, ia membantah dan melawan perkataan panitia!” 

“Lalu, yang ketiga ia terlambat!” Tambahnya.

Raden tidak menjawab seluruh pernyataan si panitia. Karena, ia sudah kecewa. 

“Jadi, untuk hukumannya ia harus bernyanyi lagu wajib di hadapan kalian semua. Dengan total tiga kesalahan, tiga lagu,” tegas panitia itu.

Raden hanya menatap lautan manusia di hadapannya. Malu tentunya, tapi apakah tidak lebih memalukan lagi sekelas tempat perkuliahan dijadikan ajang perkenalan kesenioritasan dengan embel-embel untuk kedisiplinan?

Raden menghembuskan napas berat. Dengan malas, lalu ia bernyanyi tiga lagu wajib diiringi dengan suara bahakan kumpulan manusia bubur dan manusia klepon hijau.

No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.