Iklan Layanan

Cuplikan

Netizen & Sadisme di Media Sosial


Kita sekarang hidup di era internat, berbagai macam informasi dapat kita nikmati dengan mudah, baik itu local, regional mapun internasional. Sebuah peristiwa dapat dengan segera disebarluaskan dalam hitungan detik saja dan dapat menjangkau semua pihak yang tersambung dengan internet. Dan sekarang ini sebuah informasi tidak lagi menjadi monopoli industri media. Internet yang dalam perkembangannya melahirkan media sosial mem¬buka ruang seluas-luasnya kepada kepada semua pihak baik itu wartawan profesional maupun pengguna media sosial biasa untuk ikut serta dalam penyebaran informasi,  baik itu sekedar membagikan berita yag mereka lihat di media online atau secara langsung me¬wartakan apa yang mereka tahu, mereka lihat, dan mereka dengar. Suatu peristiwa dalam waktu relatif sebentar, netizen seolah-olah  berlomba menyebarkan berita tersebut. Jadilah mereka (baca:netizen) seperti wartawan dadakan yang aktif menyebarkan dan bahkan memproduksi berita, yang biasa disebut dengan istilah citizen journalisme.

Akan tetapi masalahnya adalah seringkali netizen mempublikasikan sesutau yang sebenarnya tidak pantas untuk dipublikasikan, salah satunya adalah mempublikasikan foto sadisme. Seringkali kita mendapat informasi tentang kejadian seperti halnya konflik, bencana alam, dan kecelakaan yang diserti dengan foto korban yang yang meninggal, luka-luka, dan berdarah yang disajikan tanpa sensor. Baik itu informasi dan foto yang berasal dari internet yang mereka sebarkan ulang, atau informasi yang mereka dokumentasikan sendiri. Saat ini begitu mudahnya foto yang merekam sebuah peristiwa dapat dengan segera disebarluaskan dalam hitungan detik saja dengan menggunakan HP.

Pengguna media sosial di Ponorogo juga menghadapi problem yang serupa. Kita masih ingat kejadian kecelakaan yang terjadi di jalan Raya Madiun Ponorogo antara mobil Xenia dan bus pariwisata yang menewaskan 3 orang, foto korban yang tanpa sensor menyebar di media sosial. Mayat laki-laki tanpa identitas yang ditemukan di ladang warga yang terjadi di kecamatan Jambon.  Dan yang terbaru kecelakaan pada acara roadreace di jalan Suromenggolo dan yang terakhir korban kecelakaan di depan STAIN Ponorogo, ada yang menyebarkan informasi tersebut yang disertai dengan foto yang tidak seharusnya di publish.
Dalam dunia jurnalistik memang sebuah foto memiliki banyak sekali fungsi, selain lebih menarik, menghadirkan foto membantu kita memfisualkan sebuah peristiwa, sehingga pembaca dapat lebih mudah memahami kejadian di lapangan, dan dengan foto dapat menguatkan fakta dan isi dari sebuah berita, sehingga pembaca lebih mempercayainya dan bisa lebih merasakan atau hadir dalam peristiwa tersebut  Menurut  secara psikologi manusia lebih cepat menerima visual dibandingkan tulisan.

Akantetapi dengan menyebarkan gambar sadisme seperti itu apakah netizen sekarang memang telah kehilangan empati mereka atau mereka mulai mengindahkan etika dan moral yang berlaku, serta tidak berpikir tetang dampak buruk dari apa yang mereka bagikan.  Apakah dugaan tersebut memang benar dan mereka hanya memikirkan eksistensi, banyaknya like, dan komen dari informasi yang mereka bagikan, dianggap terdepan dalam memberikan informasi kepada publik, ataukah keinginan memberikan sesuatu yang menurut mereka menarik. Atau karena mereka masih gagap manghadapi arus bebasnya informasi di media social yang tidak diimbangi dengan kematangan dan kedewasaan para penggunanya, sehingga mereka dengan gampang membagi atau meneruskan kembali informasi tanpa memfilternya.

Matinya Kepekaan Masyarakat.

kemajuan teknologi dan kecepatan media sosial menjadikan masyarakat seolah berlomba mengunggah informasi semacam ini. Seolah-olah, orang yang mempublikasikan itu dianggap paling tahu mengenai peristiwa yang tengah terjadi.

Seringkali dalam mempublikasikan foto korban kecelakaan, Netizen alpa untuk memikirkan bagaimana  perasaan keluarga korban setelah melihat foto keluarganya meninggal dengan cara yang tragis. Mereka seakan tidak pernah untuk berusaha menempatkan diri sebagai keluarga korban tersebut, bagaimana jika kita mempunyai keluarga yang kecelakaan dan menderita luka yang cukup tragis, dan fotonya beredar luas di dunia maya. Apakah kita rela foto tersebut dibagi-bagikan ke orang lain. Karena tidak menutup kemungkinan foto tersebut akan kekal di jagad internet dan bisa sewaktu-waktu tanpa sengaja dilihat oleh  keluarga korban yang juga menggunakan media sosial.  Apakah kiranya mereka membanyangkan bagaimana perasan korban ketika hal tersebut terjadi, dan apakah kita harus menambah duka yang dialami oleh keluarga? Sepertinya kita sejenak merenungkan makna media sosial bagi mental budi kita, dalam hal ini perasaan empatik.

Dan seringkali netizen mengindahkan aspek etika dengan membagikan foto tersebut. dan ada juga netizen yang sudah diperingatkan untuk tidak melakuakn hal tersebut yang karena menampilkan gambar yang tidak menunjukkan sisi kemanusiaan kita sama sekali. akantetapi sering kali mereka mengindahkannya. Salah satu musuh dari etika adalah egois, karena egois tidak mendukung orang untuk melihat bagaimana sesuatu berakibat bagi orang lain, dan hal ini tidak hanya pada media-media media kuning dalam kompetisi pasar yang mengedepankan sensasi, mengejutkan, atau skandal, akan tetapi juga netizen yang terlihat gagap mengahadapi arus bebasnya informasi media social yang mereka hadapi. Apakah mereka berpikir ini hanya dunia maya bukan dunia nyata. Mungkin mereka lupa bahwa meskipun tidak berkomunikasi secara langsung, komunikasi dunia maya sama-sama melibatkan manusia yang juga membutuhkan etika di dalamnya.

Dengan mudahnya membagikan hal tersebut, tentu mereka hanya menekan tombol share atau upload ketika mereka mendapatkan foto-foto tersebut, apakah kemudahan ini yang menjadikan mereka  tidak berpikir panjang tentang konsekuwensi dari apa yang mereka bagikan. Dan apakah yang dilakukannya merugikan orang lain tidak dijadikan prioritas utama.  Mungkin meraka alpa untuk bertanya jika saya melakukan hal itu, apa yang akan terjadi, karena tidak semua orang terbiasa dan siap untuk melihat foto sadisme, yang serigkali tidak sengaja mereka lihat ketika berselancar di media sosial.karena  orang yang memilih melihat gambar mungkin akan lebih bisa menghadapinya. Tapi untuk orang yang tidak sengaja melihat gambar tersebut di akun sosial media mereka, hal ini menyimpan potensi bahaya.

Apalagi jika gambar yang kita sebarkan itu dilihat oleh orang yang memiliki trauma dengan hal-hal seperti itu.  Jiwa mereka bisa terguncang, bisakah kita bertanggung jawab jika hal itu terjadi pada mereka?  Dan demikian apakah menyebarkan gambar-gambar begitu justru merupakan bagian dari teror juga?. Selain itu, para penyebar foto sadisme apakah bisa bertanggung jawab pada jikalau orang-orang yang lantas berjiwa sadis karena terinspirasi foto-foto yang Mereka sebar. Karena ada yang mengatakan dengan sering menyaksikan gambar tersebut, sensitivitas seseorang akan berkurang sehingga menjadi  biasa dengan sadisme dan pemandangan berdarah.

Sekali lagi yang harus kita renungkan sekarang ini adalah apakah memang benar para netizen dalam menggunakan media sosial sudah kehilangan empati, etika, dan dan tidak memikirkan dampak buruk  dari apa yang mereka lakukan.?

No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.